12 Suku di Aceh, Daftar Enis, Bahasa & Agama Suku di Aceh

Suku di Aceh sangat beragam dimana etnis di daerah Aceh ini disebabkan oleh beberapa hal seperti migrasi, faktor Sejarah, geografis, sosial, budaya dan agama. Aceh terletak diujung paling barat Indonesia dimana posisi tersebut sangat strategis sebagai jalur perdagangan. Diketahui pada masa lalu Aceh merupakan tempat transit bagi pedagang dari Timur Tengah, Eropa, India dan Cina yang menjadikan Aceh sebagai titik dimana penyebaran Agama dan juga budaya.

Bagi anda yang ingin mengunjungi Tanah Rencong, kami merekomendasikan paket wisata Aceh untuk melihat budaya, kuliner dan alam. Jika anda ingin menjelajah pulau dan keindahan Bahari anda juga bisa memilih paket wisata Sabang berikut:

Suku bangsa di Aceh dasarnya terbentuk dari berbagai suku termasuk champa hingga cochin china. Sehingga suku di Aceh yang anda lihat saat ini sangat bervariasi ada yang mirip seperti orang Arab, India, eropa hingga cina. Berikut daftar suku di Aceh yang patut anda ketahui:

  • 1. Suku Aceh
pakaian tradisional aceh

Berada di antara Teluk Benggala dan Teluk Persia, suku Aceh terdiri atas gabungan beberapa bangsa. Hal tersebut tak terlepas dari singkatan nama suku tersebut, yakni Arab, China (Tiongkok), Eropa, serta Hindia (India). Faktor ini pula yang menciptakan keberagaman dalam kehidupan masyarakat, mencakup kuliner, baju adat, dan desain huniannya.

Menurut data antropologi, asal muasal suku yang mendiami Aceh berhubungan dengan suku Mantir atau Mantee dalam bahasa Aceh. Mereka juga dikaitkan dengan Mantera yang berada di Malaka yang merupakan bagian Monk Khmer atau bangsa Mon Khmer. 

Lihat Juga:

Sementara catatan lainnya melaporkan suku-suku yang berada di Pulau Sumatra telah mendiami Aceh sejak zaman mencairnya es atau zaman Pleistosen. Fenomena tersebut yang lantas memicu perpindahan serta pencampuran antara masyarakat di kawasan timur Aceh dengan suku-suku seperti Melayu, Mante, Lhan, dan Minga. 

Percampuran budaya pun membentuk ciri khas pada suku Aceh. Dari segi bahasa penutur, suku ini memakai bahasa Aceh Chamik, yakni percabangan antara Austronesia dan Melayu-Polinesia. Lantas kosakata yang digunakan kebanyakan menyerap dari bahasa Arab.

Adapun senjata tradisional yang dikenal luas adalah rencong yang telah umum diandalkan sejak Kesultanan Aceh masih berjaya. Menyoal baju tradisional, mereka mempunyai Ulee Balang yang terdiri atas Linto Baru untuk pria serta Daro Baro untuk perempuan. Kemudian untuk rumah adatnya, terdapat Rumoh Aceh yang memiliki tiga bagian.

Variasi seni suku ini dapat terlihat dari jenis tarian beserta acara adatnya. Selain Tari Saman yang popularitasnya sudah mendunia, ada Tari Seudati serta Tari Ratoh Jaroe yang patut disimak. Lantas untuk lagu daerahnya terdapat Bungong Jeumpa yang menggambarkan pesona Aceh. Gendrang, Sarune Kalee, dan Rapai adalah jenis alat musik tradisional yang mereka mainkan.

Tradisi Aceh yang rutin diselenggarakan suku Aceh pun tak kalah beragam. Sebut saja Peusijuek yang dilaksanakan untuk pernikahan, kelahiran serta kematian, hingga keberangkatan jemaah ke Tanah Suci untuk haji. Sumang, Uroe Tulak Bala, dan Meugang adalah acara-acara lain yang wajib dikenal.

  • 2. Suku Tamiang
Pakaian Adat Tamiang

Suku Tamiang atau Suku Aceh Tamiang adalah penduduk yang menempati kawasan Aceh. Sebagian besar dari mereka percaya nenek moyangnya merupakan warga asli di sana. Akan tetapi, sejumlah catatan sejarah melaporkan bila suku tersebut adalah imigran dari suku lain, yakni suku Melayu. Hal tersebut bahkan bisa langsung dibuktikan dari dialek saat mereka bicara.

Perbedaan bahasa, logat, serta dialek Suku Aceh Tiamang pun dibagi berdasarkan wilayah geografisnya. Masyarakat Tamiang Hulu umumnya mempunyai vokal dialek ‘o’, sementara mereka yang termasuk Tamiang Hili memiliki vokal dialek ‘e’.

Menyoal rumah adat, suku Aceh Tiamang mendiami hunian yang bentuknya menyerupai tempat tinggal suku Melayu. Berkonsep rumah panggung, terdapat tiang berbentuk segi empat yang menjadi penopang. Kurang lebih ada 9-12 tiang utama yang terpasang. Kemudian, rumah-rumah tersebut dibangun menghadap barat. Namun, ada pula yang menghadap sungai apabila lokasinya berdekatan.

Lihat Juga:

Ciri khas lain yang dapat ditemukan pada rumah tradisional suku Tamiang adalah ukirannya yang unik. Dedaunan, bunga, serta akar merambat adalah pola-pola yang mudah dijumpai. Bentuk motif yang simetris serta saling tersambung seperti awan berarak pun kian memperindah desainnya. Lesung sebagai tempat menumbuk padi dan kandang ternak adalah aspek-aspek lainnya yang kerap terlihat di rumah tradisional suku ini.

Seperti suku lain di Indonesia, suku Aceh Tiamang memiliki pakaian adat yang desainnya tak jauh berbeda dari yang dikenakan sehari-hari. Bedanya, mereka menambahkan aksesori saat menggelar acara-acara spesial. Misalnya selendang atau kerudung bagi perempuan, sementara laki-laki akan mengenakan sarung, celana panjang, serta tengkulak.

Menyoal kesenian, suku ini kerap menyelenggarakan drama musikal dalam bentuk tarian. Dikenal sebagai Ula-Ula Lembing, acara ini menyuguhkan kisah cinta antara pangeran serta kekasihnya yang berasal dari kalangan rakyat jelata. Perbedaan status sosial tersebut yang membuat keduanya tak mendapatkan restu dari orangtua kedua belah pihak.

Lihat Juga:

Dibawakan 12 orang, tarian khas suku Tamiang ini pun menjadi salah satu bukti pelestarian budaya yang selayaknya mendapatkan atensi dari masyarakat luas.

  • 3. Suku Gayo
Pakaian Adat Gayo

Suku Gayo dikenal sebagai kelompok etnis Pulau Sumatera yang mendiami bagian tengah Provinsi Aceh. Lebih tepatnya, mereka adalah penduduk asli yang datang dari Dataran Tinggi Gayo. Adapun persebarannya mencakup Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, serta Kabupaten Gayo Lues.

Berdasarkan daerah asalnya, suku ini dibagi menjadi tiga kelompok. Antara lain masyarakat Gayo Lues di kawasan Aceh Tenggara dan Aceh Tenggara. Kemudian, ada masyarakat Gayo Laut di Aceh Tengah serta Bener Meriah. Sementara sebagian kecamatan yang berlokasi di Aceh Tamiah ditempati masyarakat Gayo Blang.

Lihat Juga:

Asal-usul suku Gayo Aceh berkaitan dengan ras Proto Melayu dari India. Masyarakat setempat pun percaya bila penamaan gayo datang dari kata pegayoan yang kalau diartikan bermakna sumber air jernih untuk tempat kepiting dan ikan suci. Versi lainnya menyebutkan kemunculan mereka masih ada hubungannya dengan Kerajaan Linge yang memerintah pada 1025 Masehi (416 Hijriah).

Ada beberapa ciri yang dapat dikenali dari suku Gayo. Sebut saja bahasa Gayo yang masih mereka gunakan sebagai bahasa penutur, sementara Islam menjadi agama yang berdampak besar terhadap adat istiadat. Kemudian rumah yang ditempati, Umah Pitu Ruang, merupakan hunian panggung yang terdiri atas tujuh ruangan. Sementara baju adatnya dikenal sebagai Aman Mayok untuk laki-laki serta Inneun Mayok bagi perempuan.

Membahas kesenian, suku Gayo Aceh masih menyelenggarakan pepongoten, yakni tradisi lisan dalam bentuk ratapan berima yang umum dilakukan pada pernikahan maupun kematian. Perempuan dari suku ini dipercaya membayangkannya untuk memberikan kesan lirih yang menyentuh.

Kemudian, ada pula pacuan kuda tradisional yang masih rutin diadakan setiap setahun sekali. Masyarakat akan melaksanakannya bertepatan dengan pesta rakyat. Kuda-kuda yang dibawa pun bukan yang dikhususkan untuk pacuan, melainkan yang dipakai untuk membajak sawah.

Lihat Juga:

Bejamu Saman adalah tradisi lain dari suku Gayo yang digelar dua hari dua malam. Acaranya mencakup pengiriman seorang pemuda desa untuk meminang pemuda dari desa lain sebagai rekan untuk memperkuat tali persaudaraan mereka.

  • 4. Suku Alas
Pakaian Adat Alas

Menetap di Aceh Tenggara menjadikan suku Alas sebagai salah satu suku yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tanah Karo di Sumatera Utara dan Kabupaten Gayo Lues. Aceh Tenggara sendiri termasuk kabupaten tua yang mana resmi dibentuk pada Juni 1974. Ikatannya dengan suku tersebut membuatnya memperoleh julukan Negeri Tanah Alas.

Kata alas pada bahasa Alas secara harafiah diartikan sebagai tikar. Namun, dalam artian luas, penamaan tersebut dihubungkan dengan kondisi daerahnya yang terbentang datar bak tikar. Selain itu, ada pula yang menyebutkan bila asal muasalnya berakar dari nama salah satu keturunan cucu Raja Lambing atau keturunan Raja Pandiangan yang memerintah di Tanah Batak.

Lihat Juga:

Sebagian besar masyarakat yang masuk ke dalam suku Alas mendiami kawasan pedesaan. Kemudian untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, mereka bekerja di bidang pertanian, perkebunan, serta peternakan. Beberapa komoditas yang suku ini garap meliputi hasil hutan, kopi, serta karet.

Islam menjadi agama yang dianut kebanyakan masyarakatnya. Kendati demikian, praktik seperti perdukunan masih dapat dijumpai di tengah kehidupan suku ini. Berbagai upacara adat pun sering kali diselenggarakan demi mendatangkan hasil pertanian melimpah sekaligus memusnahkan hama.

Menurut sejumlah ahli linguistik, suku Alas Aceh menggunakan bahasa Alas-Kluet sebagai bahasa penuturnya. Dalam satu kampung atau kute, terdapat satu atau lebih klan (merge) dengan yang para anggotanya berasal dari nenek moyang yang sama. Mereka pun memakai patrilineal atau garis keturunan laki-laki dengan eksogami merge untuk pencarian jodoh.

Seni dan budaya yang dijaga suku ini pun patut diapresiasi secara luas. Untuk tarian saja, mereka mempunyai jenis yang variatif seperti Londok Alun, Tari Mesekat, Canang Buluh, Genggong, hingga Keketuk Layakh. Ada pula kerajinannya yang mengagumkan seperti nemet (seni menganyam memakai daun rumbia), mayu amak, pande besi, serta bordir pada pakaian adat.

Lihat Juga:

Suku Alas dikenal juga dengan kuliner khasnya yang sulit dilupakan. Ikan lanakh, puket megaukh, gelame, ikan pacik kule, buah khum-khum, dan cimpe adalah beberapa hidangan yang patut dicoba.

  • 5. Suku Kluet
Pakaian Adat Kluet

Disebut juga sebagai suku Keluwat, suku Kluet merupakan suku yang dapat ditemukan tersebar di sejumlah kecamatan yang berada di Kabupaten Aceh Selatan. Jarak kediaman orang-orang dari suku ini pun sekitar 30 kilometer dari Tapaktuan, sementara dari Banda Aceh bisa mencapai 500 kilometer.

Daerah yang didiami suku ini dipisahkan Sungai Lawe Kluet dengan hulu yang berada di Gunung Leuser, lalu bermuara di Samudra Hindia. Historinya memiliki kaitan erat dengan Kerajaan Laut Bangko. Adapun Laut Bangko merupakan danau mini yang berlokasi di tengah hutan bagian barat yang dilindungi Taman Nasional Gunung Leuser.

Lihat Juga:

Dari segi etnis, suku Keluwet termasuk ke rumpun Batak, lebih tepatnya ialah rumpun Batak Utara. Kemudian bahasa yang mereka pakai adalah bahasa Kluet. Seperti etnisnya, bahasa ini berada di dalam rumpun bahasa Batak. Terdapat tiga dialek yang digunakan para penuturnya: Paya Dapur, Lawe Sawah, serta Manggamat.

Suku Kluet dalam kehidupannya menjalani adat yang bersifat heterogen. Hal ini disebabkan wilayah mereka yang ditinggali tiga suku: Aceh, Kluet, serta Aneuk Jamee. Meski faktor ini berpotensi memicu perpecahan, masyarakatnya masih mempertahankan budaya yang telah diwariskan. Sebagian diantaranya dapat dilihat saat mereka mengurus pernikahan, pengobatan, sampai prosesi kematian.

Keunikan lain yang dapat dijumpai dari suku Keluwet atau Kluet adalah sastra lisan yang terus berkembang di tengah komunitasnya. Dalam pernikahan yang mengusung adat kental, contohnya, mereka akan bersyair untuk memeriahkan pesta.

Terdapat dua jenis syair yang dijaga masyarakat kluet: syair meukato dan meubobo. Syair meukato merupakan pantun yang dilakukan dengan cara saling balas oleh rombongan pengantin laki-laki dengan rombongan pengantin perempuan. Sekilas, tradisi tersebut menyerupai yang suku Betawi lakukan di Jakarta.

Lihat Juga:

Sementara syair meubobo biasanya ditujukan untuk sejumlah tujuan, termasuk sebagai sunnah Rasulullah hingga melepas anak yang hendak merantau. Dalam mempraktikan kedua syair tersebut, hanya orang-orang mahir dari suku Kluet yang diizinkan. Tujuannya adalah menjaga penyampaian serta makna sekaligus memberikan contoh bagi para penerusnya.

  • 6. Suku Aneuk Jamee
Pakaian Adat Aneuk Jamee

Suku Aneuk Jamee termasuk suku pendatang yang menetap di kawasan pesisir barat hingga selatan Aceh. Keberadaan mereka di sana berkaitan dengan fakta bahwa generasi-generasi pendahulunya merupakan keturunan para perantau asal Minangkabau. Selain itu, aneuk jamee punya arti sebagai pendatang atau tamu dalam bahasa Aceh.

Saat ini, catatan sejarah mengenai Aneuk Jamee masih terbatas. Namun, beberapa sumber lisan mengungkapkan, mereka pindah ke bagian barat pantai Aceh sekitar abad ke-17. Perang Padri yang berlangsung pada 1836 di kawasan Minangkabau adalah salah satu pemicu terbesarnya. Adapun dua tempat yang mereka tinggali adalah Meulaboh dan Tapaktuan.

Lihat Juga:

Lambat laun, suku ini mulai menyebar dan tinggal di Kabupaten Aceh Selatan. Labuhan Haji serta Samadua adalah dua kecamatan yang didiami kelompok etnis tersebut. Mereka yang masih menetap di pantai bekerja sebagai nelayan, sedangkan yang bermukim di kawasan perkotaan biasanya menjadi pekerja di kebun atau menggarap sawah sebagai petani.

Untuk percakapan sehari-hari, suku Aneuk Jamee mengandalkan bahasa Jamu atau Jamee sebagai penutur. Bahasa Minangkabau pun turut mempengaruhi kosakata yang digunakan. Keberagaman bahasanya pun ditemukan pada variasi dialek yang dipengaruhi aspek geografis hingga bahasa lain.

Sejumlah pedesaan yang didiami Aneuk Jamee bertempat di dataran yang diapit perbukitan atau pegunungan. Beberapa di antaranya sudah mendapatkan infrastruktur layak seperti jalan raya yang jadi penghubung antara sejumlah kecamatan di Aceh Selatan dengan Banda Aceh.

Sementara itu di pedesaan terdapat jurong atau jalan setapak yang umumnya menjembatani satu hunian dengan hunian lainnya. Masing-masing desa pun memiliki surau dan manasah. Surau adalah tempat ibadah yang dikhususkan untuk perempuan, sementara manasah untuk laki-laki. 

Lihat Juga:

Anak Jamee menyebut keluarga mereka sebagai rumah tango dengan ayah yang berpesan sebagai kepala keluarga. Namun, untuk alasan tertentu, mereka akan mengisi posisi tersebut dengan ibu atau anak laki-laki tertua. Suku Aneuk Jamee juga memiliki kelas sosial yang terbagi menjadi tiga jenis golongan, yakni rakyat biasa, hulubalang, dan datuk sebagai ketua kedaulatan.

  • 7. Suku Haloban

Bertempat di Kabupaten Aceh Singkil, suku Haloban merupakan penghuni asli dari Kepulauan Banyak yang berada di bagian barat Pulau Sumatra. Sekilas, fisik mereka tak jauh berbeda dari suku Aceh. Namun, karena memiliki keturunan ras Mongoloid, penduduk dari kelompok etnis tersebut cenderung memiliki kulit kuning langsat serta mata agak sipit seperti warga Mentawai dan Nias.

Mendiami kecamatan di dekat perbatasan membuat orang-orang dari suku ini hidup secara berdampingan bersama suku pendatang lain. Misalnya saja suku Bias dan Anak Jamee. Bahasa Haloban yang mereka pakai untuk berkomunikasi juga merupakan kerabat dekat bahasa Nias dan bahasa Devayan yang menjadi bahasa penutur di Pulau Simalur.

Lihat Juga:

Sayangnya, pemakaian bahasa Haloban semakin tergeser seiring bertambahnya pendatang yang memenuhi pulau yang suku Haloban tempati. Akibatnya, penggunaan bahasa penutur ini sekarang hanya bisa ditemukan di rumah tangga maupun kalangan kelompok ini sendiri. Sementara anak-anak dari generasi muda lebih memilih bahasa Aceh atau Aneuk Jamee untuk berinteraksi.

Padahal kalau melihat dari sejarahnya, suku ini diperkirakan datang bersama nenek moyang suku Enggano, Nias, serta Mentawai. Begitu pula dengan kelompok etnis dari Lekon, Devayan, serta Singulai. Sekitar 7.000 tahun lalu, mereka lantas menyebar ke pulau-pulau yang berada di bagian barat Pulau Sumatra. 

Di era modern, budaya dan gaya hidup masyarakat Haloban sudah dipengaruhi Islam yang turut meningkatkan jumlah pemeluk agama tersebut. Para pendatang dari daerah-daerah lain seperti Aceh serta Minang turut menggeser budaya asli yang dimiliki suku ini. Meski demikian, masih ada beberapa orang dari suku Haloban yang menganut agama Kristen, terutama mereka yang menetap di Desa Sialit. Kerukunan dan toleransi di wilayah ini pun terjaga dengan baik.

Lihat Juga:

Untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, suku Haloban menjadikan nelayan serta petani sebagai mata pencaharian mereka. Macam-macam tanaman pun dibudidayakan untuk konsumsi. Selain itu, ada hewan ternak seperti bebek, ayam, kambing, serta sapi yang dipelihara untuk menambah jumlah pendapatan sekaligus menyuburkan area pertanian maupun perkebunan.

  • 8. Suku Mante

Suku Mante dipercaya sudah mendiami di wilayah Aceh dari ribuan tahun lalu dan disebut-sebut menjadi suku tertua di Aceh. Supaya kita lebih tahu secara mendalam tentang suku yang satu ini, berikut ini akan kita rangkum beberapa fakta menariknya.

1. Berkerabat Dekat dengan Suku yang Lain

Suku Mante ini memiliki hubungan yang erat dengan suku-suku regional di Indonesia, seperti Suku Gayo, Suku Alas dan juga Suku Batak. Ada juga beberapa dugaan jika etnis lokal ini berhubungan erat dengan etimologi dari bangsa Funisia yang ada dj Babilonia yang ada di lembah sungai Indus dan Gangga. 

2. Asli Orang Aceh

Suku Mante berasal dari Aceh asli yang mendiami di wilayah ujung utara dari pulau Sumatera sejak ribuan tahun lamanya. Bahkan ada sebuah catatan yang menyatakan jika etnis lokal satu ini sudah ada sebelum IsIam masuk ke Nusantara. 

3. Nomaden

Sama seperti manusia yang hidupnya di peradaban kuno, Suku Mante ini hidupnya juga berpindah-pindah atau nomaden. Pada awalnya Suku Mante mendiami kawasan yang ada di Aceh Barat lebih tepatnya di Kampung Seumileuh. Seiring berjalannya waktu, sekelompok manusia ini berpindah ke wilayah yang lebih subur untuk mendapatkan sumber air. 

Lihat Juga:

Pernah disebutkan jika mereka berpindah dari kawasan Indra Patra yang mana lokasi berdirinya Kerajaan Lamuri sampai ke Gayo. Saat ini masih menjadi sebuah misteri dimana keberadaan dari Suku Mante Aceh ini. 

3. Memiliki Perawakan Pendek

Ciri fisik yang paling terlihat dari suku ini adalah mempunyai tubuh pendek atau kerdil. Ukuran tubuhnya diperkirakan kurang lebih 60 cm sampai 1 meter dan posturnya sedikit bungkuk. Tubuh mungilnya ini memungkinkan mereka untuk berlari dengan kencang sehingga sulit untuk didekati. 

4. Mengisolasi dari Dunia Luar 

Eksistensi dari Suku Mante ini masih menjadi sebuah misteri sampai sekarang karena mereka memang cenderung terisolasi dengan dunia luar serta menghindari kontak dengan orang-orang asing. Inilah yang membuat ras ini masih murni berasal dari campuran suku luar. 

Berbeda dari orang-orang Aceh modern yang memiliki perawakan dari hasil interaksi dengan suku-suku negara lain seperti China, Eropa, Arab dan Hindia. 

  • 9. Suku Sigulai

Suku Sigulai sering juga disebut dengan nama Suku Salang merupakan Suku yang berada di pulau Simalur Utara. Sebagian besar orang dari suku ini berada di kecamatan Simalur Barat dan juga kecamatan Alafan. Ada juga yang berada di desa kecamatan Salang, kecamatan Teluk Dalam serta Simalur Tengah. 

Asal Usul Suku Sigulai

Suku Sigulai ini merupakan salah satu suku asli dari Kepulauan Simular bersama-sama dengan suku Devayan, Haloban dan Lekon. Sejarah adanya suku Sigulai ini ini memang tidak dituliskan sehingga tidak diketahui dengan pasti asal usul dari suku satu ini. Hanya ada beberapa perkiraan yang muncul dari penulis di beberapa situs website yang mana menyatakan jika Suku Sigulai dahulu berasal dari wilayah sama dengan Suku Haloban, Devayan, Lekon, Nias dan Mentawai. 

Lihat Juga:

Secara fisik suku Sigulai masuk ke dalam ras orang mongoloid yang dahulu melakukan imigrasi ke wilayah tersebut secara bersama-sama dengan Suku Lekon, Nias, Mentawai, Haloban dan Devayan. Mereka tersebar ke beberapa wilayah di pulau serta kepulauan yang ada di sebelah barat dari pulau Sumatera. Salah satu suku Sigulai tersebut menetap di wilayah tersebut hingga saat ini. 

Agama Suku Sigulai

Suku Sigulai berasal dari Aceh ini mayoritasnya menganut agama Islam yang sangat taat sehingga mempengaruhi wilayah ini. Oleh sebab itu seni budaya dari Suku Sigulai sangat kental dengan nilai-nilai ke Islami-nya. 

Bahasa Suku Sigulai

Bahasa dari Suku Sigulai masih serupa dengan bahasa Devayan, Nias dan Lekon. Walaupun berbeda tetapi masih ada kemiripannya di perbendaharaan kata maupun dialeknya. Bahasa dari Suku Sigulai untuk sekarang ini ada di tengah-tengah dominasi bahasa Aneuk Jamee dimana menjadi bahasa pengantar di wilayah tersebut. 

Bukan hanya dari bahasa Aneuk Jamee bahasa Aceh juga andil dalam memberikan pengaruh di kehidupan dalam berbahasa pada suku-suku asli yang ada di pulau Simalur. Oleh sebab itu, kalangan generasi modern dari Suku Sigulai berbicara menggunakan dialek bahasa Aneuk Jamee di kehidupan sehari-harinya. 

Bahasa dari Suku Sigulai itu sendiri hanya diucapkan pada wilayah-wilayah pedesaan, di rumah- rumah serta kalangan masyarakat Suku Sigulai sendiri. Adat istiadat Suku Sigulai sendiri masih cukup kental dan dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang nelayan maupun petani. 

  • 10. Suku Singkil
Pakaian Adat Singkil

Suku Singkil merupakan salah satu kelompok yang menyebar serta menetap pada wilayah Subulussalam dan sebagian wilayah yang ada di Aceh Selatan dan juga Aceh Tenggara. Pada suku Batak Pak Pak Suku Singkil masuk ke dalam Suak Boang. 

Bahasa di Suku Singkil

Bahasa yang digunakan oleh Suku Singkil adalah bahasa asli dari masyarakat Singkil yang berasal dari wilayah Subulussalam, Aceh Singkil dan beberapa ei yang ada di Aceh Selatan serta Aceh Tenggara. Bahasa yang digunakan merupakan persebaran bahasa Batak Karo. 

Bahasa Suku Singkil sendiri memiliki keunikannya sendiri, yaitu kosakata cukup jauh berbeda dengan bahasa Batak Karo dan memiliki ciri khas dalam pengucapan huruf “r” yang diucapkan “kh”. Budaya Suku Singkil banyak dipengaruhi dari tradisi ke Islaman. Walaupun serumpun, suku satu ini mempunyai adat dan juga budaya yang berbeda dari Suku Batak Pak Pak.

Hal tersebut disebabkan dari masyarakat Singkil yang mayoritas menganut agama Islam sedangkan masyarakat Batak Pak Pak mayoritas menganut agama Kristen. Tidak hanya itu, Suku Singkil jauh lebih banyak memiliki campuran dari suku pendatang, seperti Batak Pak Pak, Aceh, Minangkabau dan Batak Karo. 

Nama-nama Marga Suku Singkil

Secara umumnya, nama marga yang dipakai oleh masyarakat dari Suku Singkil hampir sama dengan marga yang terdapat di suku Batak Pak Pak, Batak Toba, Batak Karo, Batak Kluet, Batak Alas, Gayo dan sisanya berasal dari marga yang asalnya dari Aceh dan suku Minangkabau. 

Marga-marga yang ada di Suku Singkil terdiri dari Barat, Bako, Gurinci, Buluara, Kombih, kembang, Palis, LLimbong, Ramin, Peranik, Pokan, Siketang, Sambo, Saraan dan Selian. 

Suku Singkil berasal dari Aceh yang memiliki beberapa marga dari keturunan Minangkabau dimana sudah berasimilasi menjadi warga masyarakat Suku Singkil sejak berabad-abad lalu, yaitu Melayu dan juga Goci. Mayoritas masyarakat Suku Singkil memeluk agama Islam. 

Agama Islam ini diyakini sudah menyebar dari berabad-abad lalu ke wilayah Suku Singkil. Selanjutnya, berasal dari kekuasaan Kesultanan Aceh yang sudah pernah berkuasa sejak beberapa abad yang lalu. 

  • 11. Suku Devayan

Suku Devayan adalah salah satu suku minoritas di Aceh yang menghuni Teluk Dalam, tepatnya di Kecamatan Teupah Barat, Simeulue Timur. Jika dilihat secara ras, Suku Devayan ini cukup berbeda dengan Suku Aceh pada umumnya. Baik itu dari segi fisik ataupun karakteristiknya. Dari segi fisik, Suku Devayan lebih mirip dengan Suku Nias dan juga Mentawai yang menghuni Kepulauan Nias di Sumatera Utara.

Adapun untuk ciri khas atau karakteristik dari salah satu Suku Aceh ini yaitu mempunyai kulit yang berwarna lebih kuning dengan mata sedikit sipit. Selain itu, suku yang satu ini juga termasuk ke dalam golongan ras mongoloid. Karakteristik tersebut biasanya dimiliki hampir di semua penduduk yang berada di pulau ataupun pesisir barat pulau Sumatera.

Sejarah Suku Devayan

Sejarah dari salah satu Suku Aceh ini yaitu ada sejak 7000 tahun silam, tepatnya ketika adanya perjalanan migrasi yang melintasi sebelah barat pulau Sumatera. Kemudian, mereka menyebar ke sebelah barat pulau Sumatera. Dahulu, mereka yang melakukan migrasi datang dengan suku yang ada di kepulauan pesisir seperti misalnya Suku Nias, Enggano, dan juga Mentawai.

Umumnya, Suku Devayan ini menganut Agama Islam atau Muslim. Sebab, pada saat itu Agama Islam berkembang cukup pesat di Pulau Simeulue, yakni sekelompok masyarakat yang menghuni pulau tersebut dalam bentuk persekutuan dan dipimpin kepala suku.

Wilayah yang dihuni oleh suku tersebut disebut dengan ‘bano’, mulai dari bano teupah, bano along, bano simolol, bano leukon, dan juga bano sigulai. Setiap kepala suku sudah memiliki wilayah otonomi sendiri dan tidak memiliki hubungan pemerintahan atau berjalan sendiri-sendiri.

Suku Devayan ini mempunyai bahasa mereka sendiri yang disebut dengan Bahasa Devayan. Bahasa tersebut dinilai masih berkaitan dengan Bahasa Nias, mulai dari dialeknya serta bendahara kata yang memiliki banyak kemiripan. Akan tetapi, Suku Devayan lebih suka menggunakan Bahasa Aneuk yang kemudian menjadi bahasa pengantar di wilayah mereka.

Itulah penjelasan mengenai apa itu Suku Devayan, salah satu Suku Aceh yang memiliki asal-usul unik dan bahasa wilayah sendiri.

  • 12. Suku Lekon

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihuni oleh beragam suku yang tersebar sejak dari Sabang hingga Merauke. Di pulau Sumatera saja, yakni khususnya di provinsi Aceh, terdapat beberapa suku asli yang bercampur dengan berbagai etnis pendatang. Salah satunya adalah suku Lekon. Berikut adalah beberapa hal terkait dengan keberadaan suku Lekon tersebut.

Salah Satu Suku di Aceh 

Di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ada sekitar 13 suku asli dengan ciri khas bahasa daerahnya masing-masing. Selain suku Lekon, namanya, ada suku Aceh, dan suku Tamiang, serta suku Gayo, juga suku Atas, dan suku Kluet, serta suku Singkil, dan suku Pakpak, juga suku Aneuk, dan suku Jamee, serta suku Sigulau, dan suku Devayan, juga suku Haloban, serta suku Nias. Suatu hal yang menyatukan ketigabelas suku di Aceh tersebut adalah rumah tradisionalnya. Terdapat Krong Bade atau yang juga disebut sebagai Rumoh Aceh. Yang menjadi tempat tinggal khas suku-suku yang ada di ujung pulau Sumatera tersebut. Bentuk rumah adat tersebut sangat dipengaruhi dan disesuaikan dengan kondisi alam sekitar yang ada. Provinsi Aceh banyak dikunjungi oleh para pedagang dari Cina, dan Eropa, serta India, juga Arab, sebagai titik awal masuknya budaya dan agama ke berbagai wilayah yang ada di Nusantara. Mereka lantas berbaur dengan berbagai suku asli yang ada di wilayah Aceh tersebut. Nama Aceh terdiri dari kata a yang artinya tidak dan ceh yang maknanya pecah. Jadi nama Aceh konon berarti tidak pecah atau saling bersatu.

Bahasa Daerah Suku Lekon

Suku Lekon memiliki ciri khas, yakni terkait dengan bahasa yang mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari. Bahasa suku Lekon itu adalah bahasa Lekon, yang sekilas mirip dengan bahasa Devayan, yang asalnya dari pulau Simeulue.

Tempat Tinggal Suku Lennon

Suku Lekon tepatnya mendiami kecamatan Alafan, Simeulue di provinsi Aceh. Suku ini lokasinya ada di desa Lafakha dan Langi.

Riwayat Suku Lokan

Diperkirakan bersama-sama dengan suku Devayan, dan Sigulai juga Haloban, serta suku Nias, dan Mentawai serta Enggano, melakukan perjalanan migrasi bangsa Proto Malayan dari daratan Indochina di sekitar 7000 tahun lalu. Mereka lalu tersebar ke beberapa pulau dan kepulauan yang lantas membentuk komunitas suku-suku tersendiri. Meski demikian kurang diketahui dengan jelas, mereka itu awalnya dahulu berasal dari satu komunitas yang sama atau memang sejak awal telah terbagi menjadi beberapa etnis yang berbeda. Pada wilayah tengah Aceh terdapat mayoritas suku Gayo. Sedangkan di wilayah timur-utaranya kebanyakan adalah suku Aceh. Lalu di wilayah barat-selatan Aceh dihuni oleh campuran dari beberapa suku. Itulah beberapa hal tentang suku Lokan.

Baca Juga:

Itulah sejumlah suku di Aceh dengan Bahasa dan budaya yang unik. Bagi anda yang ingin mengenal Aceh lebih jauh, anda bisa berkunjung untuk melihat beragam budaya, sejarah, alam dan lain-lain. Anda bisa mengambil paket liburan ataupun rental mobil Aceh untuk memudahkan perjalanan anda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *