8 Upacara Adat Aceh, Upacara & Tradisi Budaya Aceh yang unik

Upacara adat Aceh menjadi salah satu tradisi yang terus dijalankan dan dilestarikan oleh masyarakat Aceh. Upacara adat tersebut telah menjadi tradisi Aceh turun-temurun. Aceh merupakan salah satu provinsi yang diwarnai dengan ajaran Islam. Namun pengaruh hindu sebelum datangnya Islam masih berpengaruh pada Budaya Aceh.

Bagi anda yang ingin berlibur ke Aceh dan Pulau Sabang dengan agenda wisata alam, sejarah, religi dan budaya, anda bisa memilih paket tour Sabang Aceh berikut:

Aceh memiliki budaya yang beragam seperti pakaian adat Aceh yang sangat unik, rumah adat Aceh dengan seni yang tinggi, alat musik tradisional yang beragam hingga upacara adat Aceh yang menarik untuk dilihat. Selain itu Tanah Rencong juga memiliki segudang makanan khas Aceh yang memiliki banyak cita rasa dan ragam minuman khas Aceh.

Upacara adat menjadi salah satu ciri khas daerah. Berikut upacara adat Aceh yang patut anda ketahui:

  • 1. Upacara Kenduri Laot

Upacara kenduri laot adalah upacara adat Aceh yang juga memiliki arti kenduri laut. Yang dimaksud dari kenduri laot adalah upacara yang dilakukan oleh nelayan dalam waktu setahun sekali. Kegunaan dari upacara ini agar Allah SWT memberkahi serta memberikan kemudahan rezeki kepada nelayan Aceh berupa tangkapan ikan.

Upacara kenduri laot ini diadakan hampir disetiap daerah pesisir di Aceh. Kenduri laot tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, karena ini merupakan adat yang telah melekat para nelayan di sana. Bahkan di era globalisasi seperti saat ini, masyarakat Aceh tetap bisa mempertahankan tradisi yang telah ada sejak zaman dulu ini.

Lihat Juga:

Dahulu, dalam pelaksanaan kenduri laot, para nelayan biasanya membuang kepala kerbau beserta tulang-tulangnya yang dibungkus dalam kain putih ke laut. Namun, praktik ini kini sudah tidak dilakukan lagi karena dianggap sebagai perbuatan syirik menurut kesepakatan tokoh ulama dan adat, karena dapat melecehkan ajaran agama Islam, mengingat Aceh merupakan provinsi dengan tingkat kesadaran agama yang tinggi.

Alasan mengapa kerbau dipilih sebagai bagian dari budaya dalam kenduri laot adalah karena binatang tersebut mampu “berkubang” di dalam air, dan warna hitam dipilih karena menjadi syarat dalam pelaksanaan kenduri. Dalam kenduri laot, setidaknya harus ada satu kerbau yang akan disembelih, mengingat hal tersebut sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh para pendahulu.

Lihat Juga:

  • 2. Kenduri Pang Ulee

Kenduri Pang Ulee adalah upacara adat Aceh yang sama dengan Maulid Nabi. Tujuannya pun juga untuk melakukan penghormatan kepada kelahiran Nabi Muhammad SAW. Menurut penanggalan Aceh yang mengikuti penanggalan bulan Hijriyah, bulan pertama yang disebut Rabiul Awal dinamakan sebagai Buleun Maulod atau Bulan Maulid. Kemudian diikuti oleh bulan-bulan berikutnya yaitu Buleun Adoe Maulod dan Buleun Keumun Maulod. Oleh karenanya, tradisi ini dijalankan selama tiga bulan tersebut atau sesuai dengan bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Ula dalam penanggalan Hijriyah.

Kenduri Pang Ulee di Aceh merupakan perayaan yang berlangsung dengan khidmat dan meriah, melibatkan seluruh komunitas dalam persiapan dan pelaksanaannya. Tradisi ini menggambarkan kesatuan dan kebersamaan masyarakat Aceh dalam merayakan momen bersejarah dalam agama Islam.

Lihat Juga:

Pada acara Kenduri Pang Ulee, pemuda-pemuda Aceh bergotong royong untuk mempersiapkan panggung sebagai tempat ceramah maulid pada malam hari. Selain itu, mereka juga menyiapkan hidangan khusus. Yakni seperti daging dan kuah beulangong yang menjadi ciri khas dalam perayaan Kenduri Pang Ulee.

Pada hari perayaan, suasana Kenduri Pang Ulee di Aceh sangat kental dengan nuansa keagamaan dan kebersamaan. Ceramah maulid yang dilaksanakan pada malam hari di panggung yang telah disiapkan menjadi pusat perhatian. Di mana para ulama memberikan pengajaran agama dan kisah-kisah tentang kehidupan Nabi Muhammad. Sementara itu, di meunasah atau tempat ibadah setempat, warga berkumpul untuk berdzikir dan bersholawat sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad.

Lihat Juga:

  • 3. Tulak Bala

Tulak Bala adalah upacara adat Aceh yang sudah tak asing lagi. Pada umumnya, Tulak Bala ini berlangsung di hari Rabu terakhir pada bulan Safar atau Hijriah. Ritualnya biasanya terselenggara mulai malam hingga siang hari.

Alasan kenapa melakukan ritual Tulak Bala di bulan Safar tak lain karena kepercayaan suku Aceh setempat mengenai beragam penyakit yang turun kala waktu tersebut. Dengan demikian, ritual ini bertujuan untuk mencegah sekaligus menghindari ancaman penyakit tersebut.

Lihat Juga:

Apalagi suku di Aceh juga meyakini bahwa Safar jadi bulan panas. Ritual ini pun dilakukan dengan membaca doa-doa bersamaan. Dalam penyebutannya sendiri, ritual ini juga terkenal dengan istilah Rabu Abeh.

Ketika mengadakan ritual ini, orang-orang akan berduyun-duyun menuju tepi pantai yang ada di Aceh. Di tempat tersebut, orang-orang duduk sembari makan bersama keluarga. Lebih tepatnya dengan bentuk kenduri.

Makan-makan dalam kenduri ini berasal dari bu kulah yang artinya ialah nasi di dalam bungkusan. Lalu juga ada eungkot punjot dengan arti lauk berupa ikan. Makanan ini sudah dibawa oleh masyarakat setempat dari rumahnya masing-masing. Ada juga yang membawa kue khas Aceh untuk cemilan.

Setelah makan kenduri, ritual berlanjut dengan mandi kembang sekaligus wangi-wangian. Orang-orang bersama keluarganya atau bisa juga kerabat dekat yang melakukannya.

Mandi bersama ini bisa menghilangkan aura negatif. Hingga kini pun masyarakat setempat masih meyakini dan melakukan ritual tersebut untuk terlindung dari malapetaka.

Lihat Juga:

  • 4. Kenduri Blang

Kenduri Blang juga termasuk upacara adat Aceh yang curi perhatian. Mengenai pengertiannya, masyarakat Aceh meyakini bahwa upacara ini adalah ritual memohon doa kepada Allah SWT dengan tujuan tertentu.

Tujuannya untuk mendapatkan keberkahan dan hal-hal positif lainnya. Dengan tujuan tersebut, tidak melaksanakan Kenduri Blang dipercaya bisa mendapatkan hal negatif dan kerugian tersendiri.

Lihat Juga:

Untuk pelaksanaannya, upacara ini memiliki tiga tahapan kegiatan. Tahapan yang pertama yakni persiapan. Di tahapan pertama ini berupa menyiapkan makanan sesuai keperluan selamatan.

Pada umumnya, isinya berupa nasi takir, suwiran ayam ingkung, apem, ketan telur rebus, sayur kluwih, sayur gudhangan, jajanan pasar, kerupuk, hingga kolak.

Lalu untuk tahapan berikutnya ialah pembacaan doa. Biasanya hal tersebut dilakukan oleh orang yang dinilai tua dan tahu atau menguasainya. Selanjutnya memasuki tahapan ketiga yakni penutup.

Terkait pelaksanaan ritual ini, ada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satunya yakni menyambung silaturahmi. Ritual ini bisa memperkuat jalinan silaturahmi antar warga. Dengan begitu, sesama warga bisa saling menghargai, menghormati, dan tolong menolong.

Lebih dari itu, upacara adat ini juga bisa jadi ajang berbagi makanan. Karenanya, ritual ini bisa membantu orang yang membutuhkan. Hal ini jelas bisa meningkatkan kebersamaan.

Dengan nilai-nilai tersebut, Kenduri Blang masih eksis hingga sekarang. Masyarakat setempat percaya bahwa ritual ini mampu memberikan keberkahan.

Lihat Juga:

  • 5. Upacara Perkawinan

Upacara perkawinan Aceh menjadi salah satu upacara adat Aceh berupa pernikahan adat Aceh yang cukup terkenal. Seperti yang kita tahu jika Indonesia terdiri dari berbagai suku adat dan budaya. Salah satunya prosesi pernikahan di mana setiap daerah memiliki tata cara yang berbeda. Aceh memiliki banyak ragam budaya, mulai dari Arab, Hindia, Eropa, dan Tionghoa.

Karena alasan inilah mengapa saat terjadi pernikahan, ada banyak ritual yang harus dilakukan. Tujuannya untuk unsur kekeluargaan, penghormatan pada Tuhan yang Maha Esa, dan sesama manusia. Ada tiga tahapan yang dilakukan dalam prosesi pernikahan.

Lihat Juga:

Pertama yaitu Jak keumalen, di mana calon mempelai pria mencari informasi yang berkaitan dengan calon mempelai wanita. Zaman dulu tidak ada perkenalan yang cukup lama. Namun setiap wanita sudah ditentukan jodohnya oleh keluarga atau orang tua.

Sedangkan ritual kedua yaitu Jak Meu Lake Jok Theulangke. Di mana calon mempelai pria mengurus keluarganya agar datang ke calon pengantin wanita untuk melamar. Jika calon pengantin wanita menyetujuinya, maka akan dijawab dengan kalimat Insya Allah. Sedangkan jika menolaknya, pihak keluarga mempelai wanita pun akan menjawabnya dengan alasan yang baik.  

Tahapan pernikahan ketiga yaitu Jak Ba Tanda. Pada tahapan ini, mempelai pria akan melamar langsung dan membawa seserahan. Dalam tahapan ini, kedua keluarga membicarakan tentang tanggal yang tepat untuk mereka menikah. Itulah salah satu budaya yang masih kental sebagai upacara adat pernikahan masyarakat Aceh.

Lihat Juga:

  • 6. Peutron Aneuk

Peutron Aneuk merupakan salah satuupacara adat Aceh yang sudah dikenal sejak lama. Merupakan upacara daur hidup masyarakat Aceh terhadap bayi yang baru saja terlahir ke dunia.

Proses upacara adat ini sangat unik. Pertama, bayi di bawa keluar dari rumah. Setelah itu, kaki bayi akan dijejakkan ke tanah untuk pertama kalinya.

Selain dikenal dengan sebutan Peutron Aneuk, upacara adat ini juga memiliki beberapa julukan lain. Seperti Peutron Aneuk U Tanoh, Troen Bak Tanoeh, hingga Peutron Aneuk Mit.

Sebenarnya, upacara adat ini merupakan bagian dari unsur kebudayaan yang mendapatkan pengaruh Hindu. Namun, dalam penyelenggaraannya masyarakat Aceh tetap menyesuaikannya dengan syariat Islam.

Keluarga yang dikaruniai bayi akan menggelar Kenduri Peutron Aneuk. Biasanya, pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga tersebut.

Tuan rumah akan mengadakan pesta secara mewah maupun sederhana. Selain itu, juga ada pertunjukkan silat dan pemotongan batang pisang.

Silat dan penebangan pohon pisang tidak selalu diadakan dalam prosesi upacara. Kedua rangkaian acara ini hanya dilakukan jika kedua orang tua ataupun sanak keluarga bayi yang bernazar. Umumnya, nazar tersebut diucapkan sebelum bayi lahir.

Saat upacara berlangsung, keluarga dari pihak ayah akan membawa sejumlah alat dan kebutuhan bayi. Contohnya bedak, minyak bayi, dan lain sebagainya. Namun, keperluan bayi tersebut dapat disesuaikan dengan kemampuan dan perubahan zaman. Tak jarang pula pihak keluarga akan memberikan sejumlah uang hingga perhiasan. 

Lihat Juga:

  • 7. Troen U Laot

Troen U Laoet adalah upacara tradisional Aceh tradisi kenduri masyarakat Aceh untuk merayakan musim melaut. Upacara ini juga sering disebut sebagai upacara kendari laut. Tujuan melangsungkan upacara ini adalah untuk mengucapkan rasa syukur kepada sang pencipta sekaligus memohon agar mendapatkan hasil tangkapan laut yang melimpah. Troen U Laoet biasanya dilakukan oleh para nelayan dan mengundang tetangga terdekat untuk ikut hadir memeriahkan.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan beragam tradisi dan kebudayaannya. Masing-masing pulau terdapat ciri khas tersendiri yang menjadikan nusantara kaya tidak hanya berdasarkan sumber daya yang ada. Berbagai tradisi yang sarat akan makna merupakan sebuah ritual nenek moyang yang harus dilestarikan.

Pada saat melakukan prosesi upacara adat Troen U Laoet, biasanya diselingi dengan acara peusijuek. Acara Peusijuek merupakan prosesi adat untuk berbagai kegiatan adat yang berlangsung di Aceh. Mulai dari prosesi memulai usaha, menyelesaikan sebuah persengketaan, hingga banyak hal lainnya.

Proses Peusijuek adalah tradisi tepung tawar yang familiar dalam budaya Melayu. Sehingga yang biasanya melakukan tradisi ini adalah tokoh agama yang dituakan atau tetua adat setempat.

Guna melengkapi upacara Troen U Laoet, Prosesi Peusijuek tidak dapat ditinggalkan. Bagi para wisatawan yang ingin hadir untuk mengikuti khidmatnya upacara adat ini, bisa datang saat musim melaut tiba. Ritual ini merupakan tradisi untuk mendoakan keselamatan dan kesejahteraan bersama sesuai dengan syariat Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Aceh.

Lihat Juga:

  • 8. Manoe Dara baroe

Manoe Dara Baroe adalah salah satu jenis upacara adat Aceh yang biasa dilakukan dalam prosesi pernikahan. Tentunya upacara adat ini memiliki hikmah dan filosofi tersendiri untuk calon pengantin dan masyarakat Aceh.

Adat sendiri memiliki pengertian sebagai sebuah aturan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat di suatu daerah. Masyarakat Aceh masih mempertahankan dan menjunjung tinggi setiap adat atau tradisi yang ada, termasuk upacara adat ini.

Sedangkan, adat pernikahan merupakan sejumlah aturan yang meliputi seluruh proses pelaksanaan dan nilai dalam upacara pernikahan. Setiap tahapan dalam upacara adat ini diatur sedemikian rupa dengan aturan-aturan yang penuh makna.

Dara Baroe merupakan tahapan akhir dalam proses pernikahan. Biasanya, tahap ini dilaksanakan pada hari ketujuh atau beberapa hari setelah acara intat linto (antar pengantin pria). Sebaliknya, Manoe Dara Baroe atau juga disebut Manoe Pucok merupakan prosesi pengantaran mempelai wanita (Dara Baro) ke rumah mempelai pria oleh keluarganya.

Permulaan acara dilakukan dengan menghidangkan berbagai macam kue tradisional khas Aceh dan penukaran sirih dari kedua pihak mempelai. Pengantin wanita akan menggunakan baju adat Aceh lengkap dengan perhiasannya.

Pihak Linto baro (pengantin pria) akan menyambut kehadirannya sambil membawa Bate Ranup (cerana sirih) dan payung. Kemudian, pihak Linto baro mempersilakan rombongan Dara Baro untuk menyantap kenduri yang disediakan bersamaan dengan kedua mempelai dan dilanjutkan dengan prosesi setelahnya.

Selesai dengan seluruh prosesi, Dara Baro wajib menginap di rumah mertuanya selama kurang lebih tiga hari tiga malam. Setelah itu, pihak keluarganya akan menjemput kembali ke gampongnya.

Lihat Juga:

Itulah beberapa upacara adat Aceh yang bisa anda saksikan di Aceh. Adat Aceh tersebut bisa menambah pengetahuan bagi anda yang ingin mengetahui adat dan budaya Aceh.

20 Alat Musik Tradisional Aceh Yang Khas & Unik Dengan Keseniannya

Alat musik tradisional Aceh merupakan salah satu daya tarik budaya yang digunakan untuk sebuah seni musik, pertunjukan hingga pengiring tarian Aceh. Alat musik Aceh tersendiri menjadi sebuah kebudayaan yang khas yang mencerminkan keacehan sehingga menjadi salah satu warisan budaya Aceh yang sudah ada sejak zaman dahulu dan dilestarikan hingga saat ini.

Aceh dikenal dengan keindahan alam dan budayanya. Bagi anda yang ingin berkunjung ke Aceh, anda bisa memilih paket tour Sabang Aceh atau juga paket wisata Aceh yang lain:

Bagi anda yang tertarik dengan beberapa aktivitas wisata, anda bisa memilih paket tour Aceh berikut:

Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di ujung Pulau Sumatera yang menawarkan beragam keindahan alam, wisata makanan khas Aceh yang nikmat, wisata sejarah, wisata bahari hingga wisata budaya yang begitu menarik. Aceh memiliki identitas yang kental dari kebudayaan yang salah satunya seni budaya Aceh. alat musik tradisional Aceh merupakan warisan budaya yang menarik untuk anda ketahui. Berikut macam-macam alat musik khas Aceh dan fungsinya:

  • 1. Seurunee Kalee

Serune Kalee atau juga dikenal sebagai Serunai, merupakan alat musik tradisional Aceh yang ditiup, terbuat dari kayu, kuningan, dan tembaga. Bentuknya yang ramping dan berwarna hitam sekilas menyerupai seruling bambu, namun menghasilkan alunan melodi berbeda. 

Serunai mempunyai tubuh ramping serta terbuat dari campuran material kuningan, kayu, serta tembaga. Bagian pangkalnya dibuat ramping untuk memudahkan dipegang. Sedangkan bagian ujungnya melebar menyerupai corong. Bentuk corong ini berfungsi sebagai resonator untuk menghasilkan suara yang lebih nyaring dan bernuansa.

Lihat Juga:

Tubuh Serunai dihiasi dengan 7 buah lubang pengatur nada yang presisi. Ini memungkinkan penciptanya menghasilkan melodi yang beragam. Tak hanya itu, terdapat pula lapis kuningan yang membalut tubuh alat musik tradisional Aceh ini, menambah kesan elegan dan kokoh.

Lebih menariknya lagi, 10 ikatan tembaga yang disebut klah atau ring melingkarinya. Klah ini tak hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga berperan penting dalam menjaga keutuhan Serunai, melindunginya dari retak atau pecah akibat benturan atau tekanan.

Serunai tak hanya menjadi pelengkap dalam pertunjukan seni budaya Aceh, tetapi juga hadir dalam momen-momen sakral. Alat musik ini sering dimainkan bersama gendang dan rapai untuk mengiringi upacara adat dan ritual keagamaan. Alunan merdunya turut memeriahkan tarian-tarian tradisional Aceh, seperti Tari Saman dan Tari Ratoh Jaroe. Sehingga, membangkitkan semangat dan makna di setiap gerakan.

Lihat Juga:

  • 2. Arbab

Di antara alat musik tradisional Aceh, terdapat alunan merdu nan syahdu dari alat musik gesek bernama Arbab. Alat musik ini berasal dari Aceh serta dapat juga ditemukan dengan jenis yang sama di tanah Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, dan merupakan kordofon tradisional dari perpaduan material alam.

Seperti tempurung, labu pahit tua, bambu, kulit kambing, benang hori. Sentuhan gesekan bulu kuda atau ijuk enau pada senarnya menghasilkan melodi khas yang memikat telinga. Sehingga, mengantarkan pendengarnya menelusuri kisah dan budaya Aceh.

Lihat Juga:

Alat musik ini terdiri dari dua bagian utama, yakni instrumen induk dan penggeseknya. Dulu, alunan dari alat musik ini senantiasa menghiasi keramaian rakyat Aceh Besar, Pidie, juga Aceh Barat. Pasar malam menjadi salah satu saksi bisu keceriaan yang ditimbulkan oleh alunan merdunya. Alunan melodinya yang menenangkan dan penuh makna, mengiringi tarian dan nyanyian dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh.

Namun, seiring berjalannya waktu, alat musik ini kian jarang terdengar. Melodi indahnya seolah terkubur dalam ingatan. Kesenian ini terancam punah, di mana pertunjukan terakhirnya tercatat pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Faktor perubahan zaman, minimnya regenerasi pemain, dan kurangnya perhatian dari generasi muda menjadi penyebab utama.

Keberadaannya saat ini bagaikan mutiara terpendam yang perlu digali kembali kilaunya. Upaya pelestarian dan revitalisasi menjadi kunci agar alat musik tradisional ini tidak tenggelam ditelan zaman. Generasi muda perlu didorong untuk mengenal dan mempelajari nya, agar melodinya kembali menggema di Aceh dan kekayaan budaya bangsa ini tidak terputus.  

Lihat Juga:

  • 3. Geundrang

Tiap wilayah di Indonesia mempunyai kebudayaan beragam, yang melambangkan kekayaan budaya daerah-daerah setempat. Dari budaya itu, maka tercipta beragam kegiatan di masyarakat, seperti Bahasa Daerah, musik, tari-tarian, serta upacara adat. 

Aceh adalah salah satu daerah yang punya beragam tradisi, adat, serta kesenian. Beberapa jenis kesenian berkembang dan jadi ciri khas di daerah Aceh adalah keberadan dari alat musik tradisional Aceh, seperti Serune Kalee, Rapa-i, Canang, Geundrang, Saluang Aceh, Biola Aceh, serta Teganing. 

Lihat Juga:

Geundrang adalah salah satu alat musik tradisional yang masyarakat Aceh miliki. Alat musik tradisional Aceh satu ini memiliki sumber bunyi berasal dari kulit hewan, dimainkan dengan cara ditabuh menggunakan telapak tangan di satu sisi serta ditabuh dengan memakai stik penabuh atau gagang geundrang di sisi lainnya.

Alat musik tradisional Geundrang masih sering dipakai di pertunjukkan-pertunjukkan ataupun acara tradisi masyarakat Aceh. Dari hal tersebut bisa disimpulkan bahwa saat ini alat musik Geundrang masih bertahan di masyarakat Aceh.

Geundrang adalah alat musik tradisional membranofon. Hal itu karena geundrang memakai kulit hewan di dua sisi lubang kayu. Cara memainkan alat musik tradisional Aceh satu ini adalah dengan memukul dua sisi kulit dengan tangan serta gagang stik terbuat dari kayu.

Geundrang tak memiliki tangga nada, serta warna suara tergantung kencangnya tarikan kulit. Dapat dimainkan dengan posisi berdiri atau berjalan, duduk bersila, hingga disandang di bahu dengan strap (tali). Umumnya (right-handed), genderang dipukul memakai stik di tangan kanan, serta tangan kiri tanpa menggunakan stik atau tangan kosong.

Membuat Alat Musik Geundrang

Lubangi potongan kayu nangka memiliki bentuk silinder sesuai ukuran geundrang lalu menciptakan rongga menembus di kedua ujungnya. Di kedua ujung pangkal kayu, dibentuk dengan sedemikian rupa sehingga diameter lebih pendek dari tengahnya. Di kulit sebelumnya sudah terpasang kerangka rotan, tempatkan masing-masing pangkalnya. Tali kulit memiliki peran sebagai pengikat kulit serta kayu geundrang. Berikutnya, tongkat pemukul alat musik tradisional Geundrang dibuat dari kayu dengan panjang 40 cm.

Cara Memainkan Alat Musik Tradisional Geundrang

Geundrang tak mempunyai tangga nada sehingga warna suara tergantung kencangnya tarikan kulit. Alat musik tradisional ini bisa dimainkan dengan berdiri, duduk bersila, ataupun disandang. Geundrang dipukul menggunakan stik di tangan kanan. Stik dipukul dengan ujung yang bengkok, sehingga hasilkan nada tajam yang singkat. Untuk hasilkan suara yang sedang, pakai bagian pinggir atau samping. Untuk hasilkan suara yang bass, pukul di kiri Geundrang dengan memakai tangan kosong. Suara yang gemerincing dihasilkan dengan bantuan pukulan di bagian geundrang diberi atau disemati kerincing.

Lihat Juga:

  • 4. Rapai (Rapai Daboh, Rapai Pasee, Rapai Geurimpheng, Rapai Pulot)

Berbicara tentang budaya di Indonesia seakan tak ada habisnya, mengingat keragaman suku, budaya, bahasa, dan masih banyak lagi. Salah satunya alat musik tradisional yang ada di setiap daerah dan beragam jenisnya. Nah, kali ini kita akan membahas rapai, alat musik yang dimainkan dengan cara dipukul. Alat musik yang satu ini pun masih terbagi dalam beberapa jenis.

Lihat Juga:

Alat musik tradisional Aceh yang satu ini mempunyai bentuk seperti gendang serta rebana. Umumnya, rapai mempunyai warna dasar hitam serta kuning muda. Menariknya, rapai  terbuat dari kulit hewan ternak, yaitu kulit sapi dan kambing. Lalu, ditempel pada kayu pilihan yang telah dibentuk bundar. Tak lupa lempengan logam yang diberikan untuk melekatkan kulit. Eits, tetapi ada berbagai variasi dari alat musik ini, antara lain:

1. Rapai daboh

Di urutan pertama ada jenis rapai yang menjadi seni tari di abad 19. Rapai daboh ini sering dimainkan di acara adat masyarakat Aceh sampai populer di masyarakat. Untuk mata ‘daboh’ sendiri diambil dari bahasa Arab ‘dabbus’ yang artinya senjata serta besi runcing. Rapai daboh ditabuh secara serempak oleh beberapa orang, dilengkapi dengan satu orang yang membacakan doa dan melakukan atraksi. 

2. Rapai Pasee

Untuk memainkan rapai yang satu ini dibutuhkan sekitar 15-30 orang. Umumnya, permainan rapai Pasee diiringi nyanyian berbau agama dan nasehat. Biasanya rapai Pasee menggunakan rapai dengan ukuran umum, tetapi digantung.

3. Rapai Pulot

Rapai yang satu ini berbeda dengan pertunjukan rapai lainnya. Jika biasanya pada pemain mengawali rapai dengan penampilan mereka dengan lagu dan iringan akrobatik kali ini sedikit berbeda. Permainan rapai Pulot tetap dimainkan secara berkelompok dan mengutamakan kekompakan. Uniknya, rapai Pulot menampilkan atraksi konfigurasi gerakan berlapis yang dilakukan oleh penabuh.

4. Rapai kisah

Tak berbeda dari rapai lainnya yang mengutamakan kekompakan para pemain serta dipimpin oleh seseorang yang mengiringi tabuhan dengan lagu. Menariknya, rapai kisah menampilkan lagu-lagu yang dibawakan sesuai dengan keinginan orang yang memesannya.

5. Rapai geurimpheng

Rapai ini sering dimainkan oleh 12 orang, pertama penabuh sebanyak 8 orang, sedangkan susahnya menjadi syeh, bak, canang, serta pangkep. Pertunjukan ini dimulai dengan para penabuh yang mengangkat tangan pada para penonton serta ada iringan dengan salam. Lagu yang digunakan pun berbagai agamis.

Itulah lima jenis rapai yang perlu Anda ketahui saat berada di Aceh, nih. Unik bukan keberagaman musik rapai di Aceh yang dijuluki sebagai Serambi Mekah. Nah, mengingat Aceh juga mengalami kulturasi dari Arab, tidak heran jika alat musik tradisional Aceh berbau agamis pastinya.

Lihat Juga:

  • 5. Bangsi Alas

Setiap daerah di Indonesia mempunyai keberagaman, mulai dari bahasa, adat, suku, termasuk alat musiknya. Alat musik pun memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya bahkan beriringan dengan perubahan daerahnya. Ya, salah satunya alat musik tradisional Aceh yang menjadi saksi zaman Kerajaan Jeumpa Aceh, Kerajaan Aceh Darussalam sampai zaman Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang sekarang. Salah satunya bangsi alas atau bansi alas.

Lihat Juga:

Alat musik yang satu ini bisa ditemukan di daerah Lembah Alas, Kabupaten Aceh Tenggara. Bangsi Alas sendiri adalah instrumen musik tiup yang terbuat dari bambu. Fakta mengejutkannya, pembuatan alat musik satu ini dihubungkan dengan adanya seseorang yang meninggal di kampung atau desa tersebut. Berikut beberapa fakta tentang bansi alas!

Bangsi Alas dikaitkan dengan kematian

Saat seseorang meninggal dunia, bansi alas yang telah siap dibuat akan dihanyutkan di sungai. Kemudian sang pembuat akan terus mengikutinya sampai bangsi alas ditemukan anak-anak. Anehnya, begitu anak-anak mengambilnya, sang pembuat akan merebutnya kembali. 

Bangsi alas yang diambil anak-anak, lalu dirampas kembali itulah yang nantinya akan digunakan sebagai alat musik bersuara merdu. Sedangkan bangsi lainnya dibungkus dengan perak atau suara yang merupakan milik orang kaya.

Digunakan sebagai iringan musik

Bangsi alas yang memiliki suara merdu sebagai alat musik tradisional juga sering dimanfaatkan untuk mengiringi tarian Landok Alun. Tari Landok Alun sendiri  merupakan tarian khas dari Desa Telangat Pagan yang menceritakan kebahagiaan petani saat mendapatkan lahan baru dengan tanah yang baik. Tari tandok alun pun mempunyai tempo yang lembut atau lambat. Eits, tetapi bukan gerakan yang lambat, melainkan dalam ruang gerak tari yang perpindahannya tidak jauh dari satu posisi ke posisi lain. 

Bentuk bangsi alas

Bansi alas merupakan alat musik asal Aceh yang berbentuk seruling bambu dengan lubang di depan, unik bukan? Selain itu, alat ini mempunyai panjang sekitar 41 cm serta diameter 2,8 cm. Untuk lubang di atasnya berjumlah tujuh dan semakin melebar. Fungsi dari lubang tersebut terdiri dari enam lubang nada serta satu lubang udara yang berasal di dekat tempat yang ditiup. 

Ujung alat musik ini pun dibalut dengan buku bambu itu sendiri, dan ujung lainnya dibalut gabus. Tak lupa daun pandan yang melapisi bagian yang ditiup oleh gabus dengan memberi sedikit lebih melewati bambu. Dengan begitu, pemainnya bisa menempelkan bansi bibir serta memainkannya dengan cara meniupnya.

Itulah fakta menarik tentang bangsi alas yang menambah wawasan Anda tentang musik Nusantara. Tak hanya dihubungkan dengan kematian, tetapi juga menjadi pengiring tari Landok Alun yang merupakan wujud kebahagiaan. Terlebih alat musik yang mirip seruling ini sedikit unik, mengingat lubangnya berasa di depan bukan di atas. Penasaran untuk melihatnya langsung bukan?

Lihat Juga:

  • 6. Tambo

Tambo merupakan alat musik tradisional di Aceh. Alat musik ini terbuat dari batang pohon iboh, rotan dan kulit sapi.

Dengan bahan-bahan tersebut, alat musik ini berbentuk mirip tambur. Saat ingin memainkannya, pemain perlu memukul alat musik ini.

Ketika memukulnya, pemain bisa memanfaatkan sepasang alat pemukul. Hal inilah yang membuat suara atau bunyi dari alat musik tersebut terdengar begitu menggelegar.

Lihat Juga:

Mengenai kegunaannya, biasanya alat musik ini digunakan selama menjalankan upacara adat. Akan tetapi, fungsinya jauh berbeda dengan era dulu.

Pada zaman dahulu, alat musik ini berperan penting sebagai alat komunikasi. Hal ini karena saat alat musik tersebut dipukul, maka menandakan bahwa waktu sholat sudah tiba.

Tak berhenti di situ saja, alat musik yang juga berperan sebagai alat komunikasi ini rupanya bertujuan untuk mengumpulkan warga agar menuju ke meunasah. Hal ini tidak lain untuk membicarakan berbagai masalah yang ada di kampung.

Meski begitu, peranannya sebagai alat komunikasi semakin memudar. Terlebih lagi, saat ini sudah ada mikrofon yang bisa menggantikan perannya sebagai alat komunikasi.

Terlepas dari hal itu, alat musik tradisional Aceh ini menarik untuk diketahui secara lebih mendalam. Apalagi keberadaannya yang selalu terlihat jelas di berbagai upacara adat setempat.

Dengan memahaminya secara lebih dekat, tentu bisa tahu kekhasan, keunikan, maupun daya tarik yang melekat padanya. Alat musik ini memang benar-benar mengesankan.

Lihat Juga:

  • 7. Bereguh

Bereguh adalah salah satu alat musik tradisional Aceh. Alat musik ini bisa pemain mainkan dengan cara ditiup. Lebih tepatnya meniup bagian ujung instrumen yang tampak melengkung dan meruncing.

Dalam memainkannya, rentang nada dari alat musik ini terbilang terbatas. Hal ini lantaran tentang nadanya tergantung dari teknik pemain saat meniup alat musik tersebut.

Lihat Juga:

Lalu untuk proses pembuatannya, alat musik ini menggunakan tanduk kerbau sebagai bahan baku utamanya. Bukan tanpa alasan kenapa tanduk kerbau jadi bahan baku utamanya. Alasannya ialah tanduk kerbau memiliki bentuk sekaligus tekstur yang sesuai untuk jadi alat musik.

Dengan bahan baku tersebut, alat musik unik ini sudah menyebar ke berbagai daerah yang ada di Aceh. Mulai dari Aceh Utara, Pidie, sampai dengan Aceh Besar.

Selain menunjang dunia musik, rupanya alat musik ini juga berperan penting sebagai sarana komunikasi. Di zaman dahulu, suku asli Aceh menggunakan alat musik ini saat berada di area hutan atau lingkungan yang tempatnya berjauhan.

Dengan meniup alat musik ini, maka suaranya bisa jadi tanda keberadaan seseorang. Orang yang mendengar alat musik tersebut jadi tahu lokasi peniupnya. Dengan terus mengikuti bunyinya, maka bisa saling bertemu.

Selain itu, banyak juga yang memanfaatkannya untuk memberitahukan keadaan tertentu. Mengenai keberadaannya saat ini terbilang hampir punah. Hal ini karena alat tersebut sudah jarang digunakan lagi.

Lihat Juga:

  • 8. Canang

Canang adalah salah satu alat musik tradisional Aceh. Instrumen musik ini sering digunakan dalam berbagai upacara daerah. Setiap wilayah di Indonesia tentu memiliki berbagai macam alat musik dan kebudayaan yang beragam. Canang merupakan salah satu alat musik yang dimainkan dengan cara dipukul.

Bentuk alat musik canang adalah persegi panjang dan terdiri dari lebih dari satu unit. Alat musik ini dibuat dari bahan kuningan dan kayu yang dibentuk sedemikian rupa untuk menghasilkan suara yang khas. Dalam berbagai acara adat khas Aceh, canang biasanya ditabuh untuk mengiringi jalannya prosesi acara.

Lihat Juga:

Musik tradisional merupakan warisan budaya yang kaya dan menjadi ikon suatu daerah. Alat musik ini memiliki peran penting dalam mengiringi tari-tarian daerah dan upacara, sehingga menempati posisi yang sangat penting di suatu wilayah.

Canang kayu, salah satu warisan budaya dari Aceh Singkil, terbuat dari kayu pilihan seperti pohon cuping dan kayu tarok. Kedua jenis kayu ini tidak boleh digantikan dengan jenis kayu lainnya. Para pengrajin memilih kayu berkualitas sesuai kebutuhan agar proses pembuatan Canang menghasilkan suara yang merdu.

Proses pembuatan canang melibatkan penyusunan bagian-bagian kayu yang dipilih dengan ukuran yang sama dan panjang setara, kemudian diletakkan pada kotak kayu. Alat penabuhnya harus dibuat dari kayu jambu pilihan. Canang dimainkan secara bergantian untuk menghasilkan harmonisasi suara yang merdu. Masyarakat setempat percaya bahwa leluhur mereka menabuh canang sambil berselonjor di lantai.

Lihat Juga:

  • 9. Celempong

Celempong merupakan salah satu instrumen seni khas Aceh yang berasal dari Kabupaten Tamiang. Seringkali, alat musik ini digunakan untuk menyertai gerakan tarian tradisional Aceh dan berbagai acara adat yang diadakan. Kehadirannya yang telah berlangsung selama berabad-abad membuatnya menjadi salah satu instrumen seni paling terkenal di wilayah Aceh.

Celempong berasal dari wilayah Aceh Besar dan telah ada sejak zaman kerajaan Aceh Darussalam. Alat seni ini umumnya digunakan sebagai pengiring dalam tarian tradisional seperti Tari Seudati, Tari Inai, dan Likok Pulo. Selain itu, sering pula digunakan dalam berbagai upacara adat dan ritual keagamaan. Hal ini menjadikannya sebagai simbol penting dari kekayaan dan keragaman budaya masyarakat Aceh.

Lihat Juga:

Instrumen seni tradisional ini dibuat dari bambu pilihan dengan kualitas suara yang unggul. Desainnya sangat sederhana, terdiri dari beberapa potongan bambu dengan berbagai ukuran yang disusun berderet. Cara memainkannya pun cukup mudah, hanya dengan memukul batang bambu menggunakan tongkat kecil. Dengan demikian, celempong mampu menghasilkan suara yang merdu dan khas.

Dulu, para gadis sering kali yang memainkan instrumen musik ini, tetapi sekarang kebanyakan dimainkan oleh para orang tua yang memiliki keahlian dalam memainkannya. Hal ini disebabkan karena celempong tidak hanya sekadar alat musik biasa, tetapi juga memiliki fungsi yang cukup sakral.

Celempong Aceh merupakan salah satu aset budaya yang sangat berharga, oleh karena itu, perlu dilestarikan dengan cara memperkenalkannya kepada generasi penerus bangsa. Tujuannya adalah agar alat musik tradisional ini dapat tetap berkembang dan hidup di masa yang akan datang.

Lihat Juga:

  • 10. Taktok Trieng

Taktok Trieng adalah salah satu alat musik tradisional dari Aceh. Alat musik satu ini digunakan untuk berbagai acara kebudayaan masyarakat wilayah tersebut.

Alat Musik Taktok Trieng

Aceh adalah salah satu wilayah di Indonesia yang sangat menarik. Provinsi Aceh ini memiliki budaya tradisional yang patut dilestarikan.

Seperti misalnya alat musik satu ini. Alat musik tradisional pastinya termasuk ke dalam budaya Aceh yang sudah ada sejak bertahun-tahun lamanya.

Lihat Juga:

Umumnya, alat musik tradisional akan memiliki cerita khusus di baliknya. Penggunaan alat musik ini juga pasti berhubungan dengan budaya adat lainnya.

Untuk yang belum tahu, Taktok Trieng adalah alat musik tradisional yang dimainkan dengan cara dipukul. Alat musik ini ini berbahan dasar bambu.

Akan sangat mudah menjumpai alat musik ini di daerah Aceh Besar dan Kabupaten Aceh lainnya. Menurut daerah asalnya, alat musik pukul tradisional ini terbagi menjadi dua macam.

Jenis tersebut terbagi berdasarkan fungsinya.. Pertama adalah untuk Meunasah atau langgar-langgar, di balai pertemuan dan tempat lain. Alat musik ini wajar berada di tempat-tempat tersebut.

Selanjutnya ada fungsi untuk di sawah-sawah. Cara kerjanya adalah untuk mengusir burung atau serangga lainnya yang mengancam tanaman padi.

Dalam jenis kedua ini, biasanya Taktok Trieng berada di tengah sawah dan terhubung dengan tali sampai ke dangay. Dangau sendiri adalah gubuk tempat menunggu padi di sawah.

Alat musik ini sudah ada sejak zaman dahulu. Bahkan, penggunaannya sangat bermanfaat untuk masyarakat sehingga memiliki budaya tersendiri di kehidupan mereka.

Hingga saat ini, Taktok Trieng cukup mudah untuk masyarakat temukan di berbagai daerah di Aceh. Waktunya generasi muda untuk melestarikan warisan budaya ini.

Lihat Juga:

  • 11. Rebana Kompang

Rebana Kompang termasuk salah satu alat musik tradisional Aceh. Alat musik ini memiliki sejarah yang sangat menarik. Hingga sekarang, penggunaan instrumen musik tradisional ini masih sangat populer.

Tidak terlalu sulit untuk menemukan alat musik ini. Sebab, banyak masyarakat yang memainkannya di beberapa acara tertentu.

Lihat Juga:

Alat musik yang terkenal dengan sebutan kompang sebenarnya adalah alat musik tradisional yang terkenal di masyarakat Melayu. Masyarakat Aceh telah menggunakan alat musik ini sejak lama.

Kompang termasuk ke dalam golongan alat musik membranophone dan ada di kelompok alat musik gendang. Alat musik tradisional ini bahkan diajarkan di dalam dunia pendidikan dan masih tetap berkembang.

Ternyata, awalnya Kompang adalah alat musik yang berasal dari Arab. Namun, akhirnya alat musik ini masuk ke Aceh dan wilayah melayu lain sehingga menjadi musik tradisi.

Musik tradisi sendiri adalah musik yang lahir dan berkembang di wilayah atau daerah tertentu. Musik tradisi ini sangat penting karena menampilkan ciri budaya masyarakat daerah setempat.

Adapun bahan pembuatan kompang adalah kulit yang biasanya berasal dari kambing betina, kerbau, atau kulit sintetis. Fungsinya tentu saja untuk memeriahkan upacara adat, seperti pernikahan, penyambutan tamu, hingga khitanan.

Alat musik ini juga banyak digunakan dalam pembukaan dan penutupan MTQ. Jadi, memang Kompang sudah sangat dekat di kehidupan masyarakat.

Meski menjadi alat musik tradisional, tetapi rebana kompang tetap memiliki banyak peminat. Bahkan, masih banyak sekali anak muda Aceh yang sengaja mempelajari cara memainkan alat musik ini.

  • 12. Kecapi Olah

Kecapi olah adalah salah satu alat musik tradisional Aceh yang memiliki keunikan tersendiri. Alat musik ini berbeda dengan kecapi dari daerah lain seperti Jawa Barat yang dimainkan dengan cara dipetik. Kecapi olah dimainkan dengan cara dipukul menggunakan alat pukul panjang yang ujungnya diberi bantalan. Alat musik ini, yang juga dikenal sebagai canang, memiliki bentuk yang berbeda dari kecapi pada umumnya karena menyerupai gong kecil.

Kecapi olah terdiri dari dua alat berbentuk gong kecil yang berdampingan dan terbuat dari kuningan. Ketika dipukul dengan pemukul khusus, alat musik ini menghasilkan suara khas yang menarik dan menghibur. 

Alat musik khas Aceh ini sering digunakan untuk mengiringi tarian tradisional bersama dengan alat musik lainnya. Selain itu, kecapi olah juga sering menjadi hiburan bagi anak-anak saat berkumpul atau dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah, serta sebagai kegiatan pengisi waktu luang.

Canang merupakan alat musik yang umum dijumpai di berbagai kelompok masyarakat, termasuk masyarakat Aceh, Alas, Gayo, dan Tamiang. Di masyarakat Aceh, canang sering disebut sebagai canang trieng, sementara di Alas dikenal sebagai kecapi oleh. Orang Gayo mengenalnya sebagai Teganing, dan di Tamiang disebut kecapi. 

Meskipun memiliki sejumlah nama panggilan yang berbeda, bentuk, fungsi, dan cara memainkan alat musik tradisional ini tetap serupa di berbagai daerah. Keberadaannya menjadi bagian penting dari warisan budaya masyarakat setempat dan sering digunakan dalam berbagai acara tradisional serta sebagai hiburan dalam kegiatan sehari-hari.

  • 13. Genggong

Genggong adalah salah satu alat musik tradisional Aceh yang termasuk ke dalam jenis musik instrumen idiofon. Alat musik yang satu ini juga mirip dengan instrumen Saga-saga yang mana merupakan jenis instrumen yang berdiri sendiri. Bahkan ada yang menganggap bahwa Genggong adalah evolusi dari instrumen Saga-saga.

Namun jika ditinjau kembali dari segi peralatan yang digunakan untuk membuat alat musik Genggong, maka bisa kita simpulkan alat musik ini ditemukan ketika sudah mengenal besi. Sebab, sebagian besar alat musik tradisional Aceh ini terbuat dari besi. Tak heran kalau suara yang dihasilkan sangat lembut dengan nada yang cukup kuat jika dibandingkan dengan alat musik Saga-saga.

Namun untuk nada aslinya sendiri, alat musik Genggong sangat bergantung dari napas pemainnya. Nadanya tidak bisa diubah dan yang menentukan suara nadanya adalah pemainnya. Alat musik tradisional ini dimainkan di antara dua bibir lalu dirapatkan pada gigi. Kemudian digetarkan dengan cara menghirup udara serta bibir yang bergerak komat-kamit untuk menciptakan nada.

Asal-Usul Alat Musik Genggong

Genggong sendiri berasal dari dua kata, yakni geng dan gong. Kata geng di sini berasal dari ge atau gae dan gong berasal dari penganggon. Sehingga jika disimpulkan, genggong bisa diartikan sebagai hasil karya yang digunakan untuk menghibur diri.

Tak hanya itu saja, geng dan juga gong bisa diartikan sebagai geng atau kelompok dan gong yang merujuk pada bunyi. Jadi, genggong adalah sekelompok masyarakat yang memainkan sebuah alat musik untuk menghasilkan bunyi-bunyian dan dimainkan dengan cara yang mirip dengan barungan gong.

Terciptanya alat musik ini terinspirasi dari suara katak yang terdengar sangat riang sambil bersahut-sahutan. Sehingga suara yang muncul dari alat musik ini hampir mirip dengan suara katak.

Cara Memainkan Alat Musik Genggong

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu alat musik tradisional Aceh ini dimainkan dengan meletakkannya di antara mulut tapi tidak ditiup. Mulut hanya memiliki peran sebagai penyangga saja. Lalu tali yang ada di salah satu ujung Genggong ditarik kemudian diulur ke arah kanan dengan kuat, sehingga tali tersebut akan bergetar. Getaran itulah yang nantinya akan menghasilkan bunyi-bunyian.

Oleh karena itu, Genggong ini digolongkan dengan musik idiofon karena sumber bunyinya berasa dari tubuh alat musik itu sendiri. Alat musik tradisional Aceh ini dapat dimainkan sendiri ataupun bersama-sama. Bunyi nada dari alat musik ini dipercaya bisa membawa pengaruh untuk orang-orang yang mendengarkannya. Karena bunyi yang dihasilkan dinilai terdengar sangat sakral.

Itulah penjelasan mengenai asal-usul alat musik tradisional Aceh yakni Genggong beserta fungsi dan cara memainkannya. Semoga bermanfaat.

  • 14. Bangsi

Bangsi merupakan salah satu alat musik khas Aceh yang sudah ada sejak lama dan juga dikenal dengan nama bansi alas atau bangsi. Alat musik tradisional satu ini tumbuh dan berkembang di kawasan Lembah Alas, Kabupaten Aceh Tenggara. 

Bangsi memiliki bentuk menyerupai alat musik seruling seperti di daerah lainnya yang terbuat dari bambu tradisional. Sama seperti seruling pada umumnya, ukuran bansi juga tidak terlalu besar dengan diameter hanya sekitar 2,8 cm serta panjangnya sekitar 41 cm.

Alat musik Aceh tersebut memiliki total 7 lubang pada bagian atasnya untuk menciptakan suara yang menarik dan unik. Menariknya setiap lubang pada bansi ukurannya tidaklah sama, tetapi semakin ke ujung ukuran setiap lubang semakin melebar.  

Satu lubang berada di dekat tempat yang akan ditiup sedangkan enam lubang lainnya berada di sepanjang badan bansi dan berfungsi sebagai lubang nada. Bagian ujung bansi tertutup buku bambu sedangkan ujung lainnya ditutup menggunakan gabus.

Penampilan alat musik ini sangat menarik karena biasanya memiliki ukiran yang unik dan khas. Biasanya Bansi digunakan untuk mengiringi tarian Landok Alun yang merupakan tarian khas Desa Telaga Pagan.  Tarian tradisional ini mengisahkan kegembiraan petani saat mendapatkan lahan baru yang subur. Gerakan tarian ini sangat lembut dan pelan sehingga gerakan penarinya pun tidak akan berpindah jauh dar satu titik ke titik lainnya serta ada semacam pola lantai.

  • 15. Bebelan

Bebelan adalah salah satu alat musik tradisional yang berasal dari Aceh. Mereka merupakan sejenis instrumen tiup yang terbuat dari batang bambu. Secara sekilas memang mirip seperti seruling khas Sunda, tetapi bentuknya lebih besar.

Meski masih termasuk ke dalam kelompok serunai atau hobo, namun bentuk bebelan cenderung lebih unik. Pada salah satu ujungnya ada sayatan (delah) sebagai tempat meniup udara. Sementara ujung lainnya terdapat pelindung lubang berukuran sedang menyerupai corong.

Usut punya usut, pelindung lubang berbentuk corong tersebut memiliki fungsi sebagai pembesar udara. Mereka terbuat dari lilitkan daun kelapa atau bisa juga pandan (serako). Berkat keberadaanya, bebelan mampu menghasilkan suara yang lebih dalam dan kaya.

Setiap bebelan memiliki 5 lubang berukuran kecil berbentuk segitiga di bagian bawah. Ketika kita meniupnya, maka setiap lubang tersebut akan menghasilkan bunyi yang berbeda-beda. Dengan permainan yang tepat, mereka mampu menggambarkan harmoni yang mengundang.

Pada zaman dahulu, bebelan bukan hanya sekedar alat musik. Tetapi juga menjadi bagian keberagaman budaya Aceh. Alat musik ini sering masyarakat mainkan dalam berbagai acara adat, upacara, hingga perayaan tradisional.

Tak jarang suara merdu bebelan mengiringi langkah-langkah tari tradisional Aceh. Sehingga menambah keindahan dan semangat pada setiap gerakannya. Bahkan, di beberapa kalangan, bebelan juga digunakan untuk mengiringi upacara keagamaan, seperti shalawat.

  • 16. Dol

Dol merupakan salah satu alat musik tradisional yang berasal dari Aceh. Alat musik tradisional ini memiliki bentuk seperti bedug atau perkusi. Namun bedanya, sisi atas maupun bawahnya tertutup rapat. Sehingga membuat suara yang keluar dari dol cenderung berbeda dengan bedug.

Secara umum, dol terbuat dari bonggol kayu kelapa tua dan utuh, yang bagian tengahnya dilubangi. Alasan menggunakan bonggol kelapa karena bobotnya yang ringan, namun memiliki daya tahan luar biasa.

Setelah pembuatan lubang selesai, sisi atas serta bawah dol kemudian ditutup dengan kulit hewan. Biasanya berasal dari kulit sapi atau domba yang tahan robek. Tak lupa menambahkan pernis atau cat supaya tampilan dol semakin menarik. Umumnya perlu waktu sekitar 3 minggu untuk membuatnya.

Cara memainkan alat musik khas Aceh setinggi 80 cm ini cukup dengan memukulnya menggunakan pemukul khusus. Pemukul tersebut dapat terbuat dari material serupa dengan panjang 30 cm serta diameter kurang lebih 5 cm.

Pada zaman dahulu, alat musik dol banyak masyarakat gunakan untuk mengiringi upacara adat Tabuik. Sebuah festival budaya tahunan yang berlangsung setiap tanggal 1 sampai 10 Muharram. Ini sebagai peringatan atas wafatnya cucu Rasulullah, hasan dan husein.

Ketika festival berlangsung, akan ada momen arak-arakan. Nah, dol digunakan untuk mengiringi arak-arakan tersebut supaya acaranya berjalan semakin meriah.

  • 17. Canang Ceureukeh

Canang Ceureukeh merupakan alat musik tradisional dari Lhokseumawe, Aceh. Namun keberadaan alat musik yang satu ini hampir punah dan sedikit peminatnya. Pada mulanya, alat musik ini dimainkan dengan fungsi untuk menjaga padi di sawah ketika musim panen datang. Alat musik ini dapat menjaga area persawahan saat musim panen dari serangan binatang buas. Kebanyakan dimainkan oleh para wanita, remaja dan anak-anak untuk membantu orang tuanya bekerja di sawah.

Alat musik ritmis dan melodis ini berbentuk bilah dengan jumlah empat bilah dari bahan kayu. Cara untuk memainkannya adalah dengan dipukul menggunakan kayu atau setik.

Pada dasarnya, canang ceureukeh merupakan alat musik yang dapat dimainkan sendiri. Karena tidak terikat alat musik yang lain. Apabila dimainkan beberapa orang, maka pola tabuhannya untuk setiap ritme sama.

Dari segi bentuk, alat musik ini mengalami perkembangan. Bahkan cara memainkannya pun oleh para pelaku seni dan seniman diolah menjadi satu garapan musik. Banyak yang menyandingkannya dengan alat musik tradisional Aceh yang lain seperti geundrang, rapa’i dan serune kale. Dalam penggabungan dengan alat musik lain, yakni menggabungkan ritem dan melodi. 

Alat musik yang satu ini sudah masuk sebagai WBTB. Dengan demikian, eksistensi dari canang ceureukeh ini harapannya bisa dipertahankan. Sehingga generasi muda pun dapat menambah pengetahuan terhadap alat musik tradisional di Aceh dan warisan tersebut tidak akan terlupakan oleh budaya dan waktu.

  • 18. Gegedem

Gegedem adalah alat musik tradisional dari dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah. Alat musik ini ditetapkan menjadi WBTB atau Warisan Budaya Tak Benda oleh Dirjen Kemendikbud RI. Penyerahan sertifikat secara langsung oleh Gubernur Aceh yang diwakili oleh Almunizza Kamal, S.STP, M.Si, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Penerimaan oleh Harun Manzola, SE, MM., Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Aceh Tengah di Hermes Hotel Banda Aceh bulan Mei 2024.

Gegedem merupakan alat musik jenis membranophone yang cara memainkannya adalah dengan dipukul. Alat musik ini dimainkan untuk acara seperti penyambutan tamu, acara pernikahan, pesta rakyat, dan berbagai acara kebudayaan.

Alat musik sebagai identitas masyarakat Gayo ini biasanya dimainkan dengan alat musik seperti Memong, Canang dan Gong. Gegedem ini adalah sejenis gendang yang menyerupai rebana. Terbuat dari kulit hewan, misalnya saja kulit kerbau dan kambing. Selain kulit hewan, bahan pembuatan alat musik ini adalah kayu dan rotan. 

Gegedem menjadi alat musik tradisional pertama yang pemerintah akui sebagai WBTB. Kehidupan berbudaya dan tradisi seperti pelestarian gegedem penting dijaga untuk mempertahankan nilai-nilai yang terkandung di dalam kebudayaan tersebut. Masyarakat mayoritas suku Gayo di Aceh Tengah sering memainkan alat musik tradisional tersebut dalam pesta adat pernikahan dan acara kebudayaan karena warisan budaya ini masih melekat kental di tengah lapisan masyarakat.

  • 19. Memong

Pada alat musik tradisional Aceh khususnya Memong memegang peranan penting sebagai salah satu instrumen musik yang memberi warna pada berbagai acara adat dan keagamaan. Secara bentuk, Memong mirip dengan Canang, tetapi ukurannya lebih besar dan terbuat dari kuningan, memberikan nuansa yang khas dan berbeda dalam pertunjukan musik tradisional Gayo.

Kehadiran alat musik ini dalam konteks musik Gayo Aceh tidak bisa dipisahkan dari instrumen lainnya seperti Canang dan Gong. Ketiganya sering digunakan bersamaan untuk menciptakan harmoni yang indah dan memikat dalam berbagai acara penting seperti upacara adat, perayaan keagamaan, dan acara sosial masyarakat Gayo. 

Memong, dengan ukuran yang lebih besar dan bahan pembuatannya yang berbeda, memberikan dimensi suara yang berbeda pula dalam ansambel musik tradisional Gayo.

Proses pembuatannya juga melibatkan keterampilan dan keahlian khusus. Pengrajin biasanya menggunakan bahan kuningan yang diproses secara hati-hati untuk menciptakan instrumen yang berkualitas. 

Langkah-langkah pembuatannya meliputi pemilihan bahan yang tepat, pembentukan dengan presisi, dan penyelesaian yang teliti untuk mencapai hasil akhir yang memuaskan. Selain itu, proses pembuatannya juga mencakup tahap-tahap seperti pengecatan dan pengukiran untuk memberikan sentuhan estetika yang indah pada instrumen ini.

Keberadaan Memong di masyarakat Aceh tak sekadar sebagai instrumen musik semata, melainkan juga melambangkan kekayaan budaya dan identitas mereka. Lebih dari sekadar menghasilkan nada merdu, Memong mengandung makna yang mendalam bagi mereka. 

Dalam kehidupan sehari-hari, Memong menjadi pengiring setia dalam tarian tradisional atau ikut serta dalam upacara adat yang suci, menjembatani antara masa kini dengan warisan budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang. Dengan setiap bunyi yang dihasilkannya, alat musik mengajak kita untuk merenungkan keindahan dan kearifan lokal yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. 

Dengan begitu, kehadiran Memong tidak hanya menyatukan komunitas Gayo secara musikal, tetapi juga menghidupkan kembali kebanggaan akan warisan budaya yang kaya dan berharga.

Pentingnya pelestarian Memong sebagai bagian dari warisan budaya masyarakat Gayo menjadi sorotan penting dalam upaya menjaga keberagaman budaya Indonesia. Melalui berbagai program pelestarian dan promosi kesenian tradisional, kita dapat memastikan bahwa alat musik tetap hidup dan berkembang di tengah arus modernisasi dan globalisasi. 

Langkah-langkah seperti pelatihan bagi pengrajin alat musik, lokakarya pembuatan instrumen tradisional, dan pendokumentasian warisan budaya dapat membantu melestarikan keberadaan alat musik untuk generasi mendatang.

Dengan memahami kedalaman dan keindahan Memong, kita dapat lebih menghargai keberagaman budaya Indonesia dan memperkuat rasa bangga terhadap warisan budaya nenek moyang kita. 

Memong bukan hanya sebuah alat musik, tetapi juga sebuah cermin dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat Gayo yang kaya akan nilai-nilai dan kearifan lokalnya. Dalam setiap bunyi yang dihasilkan, alat musik ini mengajak kita untuk merenungkan dan menghormati warisan budaya yang telah diberikan oleh para leluhur kita.

  • 20. Taganing

Taganing merupakan salah satu alat musik tradisional Aceh yang terbilang unik. Alat musik tradisional ini menggunakan bahan dasar bambu yang bisa menghasilkan bunyi merdu. Bunyi merdu dari alat musik khas Aceh berbahan bambu tersebut bisa membuat para pendengar terkesima. Panjang dari alat musik ini yaitu sekitar 1 sampai 1,10 m. 

Alat musik ini harus terbuat dari ruas bambu yang cukup panjang dan memiliki diameter yang besar serta tua. Bentuknya menyerupai kecapi, namun memiliki tambahan tiga bagian kulit yang dicungkil dan diganjal dengan potongan bambu kecil. Cungkilan kulit tersebut menyerupai tiga senar dan menghasilkan irama ketika dipukul. Untuk memainkannya, menggunakan alat pemukul yang juga terbuat dari bambu.

Dulu, para gadis sering menggunakan alat musik ini untuk mengisi waktu senggang mereka. Biasanya, mereka memainkannya sambil menjaga jemuran padi agar tidak diserang oleh merpati atau ayam. Namun, seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sudah jarang terlihat gadis-gadis yang memainkan alat musik ini sambil menunggu jemuran padi di kampung. Kehadiran alat musik dari bambu perlu dilestarikan karena mulai terlupakan. Ini adalah bagian penting dari warisan budaya kita yang perlu dijaga agar tidak punah.

Sayangnya banyak anak zaman sekarang yang kurang mengenal alat musik ini atau cara menggunakannya. Padahal, penggunaannya sangat mudah dan cocok untuk mengiringi tarian khas Gayo. Dengan memainkannya, akan tercipta irama yang indah dan merdu. Siapapun yang mendengarnya pasti akan terpikat oleh keindahannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus melestarikan dan mengenalkan alat musik ini kepada generasi muda agar warisan budaya kita tetap hidup dan berkembang.

Baca Juga:

Itulah macam-macam alat musik tradisional Aceh yang khas dan patut anda ketahui untuk mengenal budaya dan kesenian Aceh. Bagi anda yang ingin melihat beberapa alat musik khas Aceh tersebut, anda bisa melihat di Museum Negeri Aceh. bagi anda yang memilik paket liburan ke Aceh, anda akan dibawa berkunjung ke museum ini, atau anda juga bisa rental mobil Aceh jika anda ingin berkunjung sendiri.

8 Pakaian Adat Aceh, Baju Tradisional Suku Aceh, Gayo, Alas, Singkil, Kluet, Tamiang & Simeulue

Pakaian adat Aceh merupakan salah satu baju tradisional suku Aceh yang merupakan salah satu suku yang dominan di Aceh. selain baju adat Aceh, terdapat juga beragam pakaian adat Aceh yang berasal dari suku di Aceh seperti pakaian adat Gayo, pakaian adat Alas, pakaian adat Singkil, Pakaian adat Kluet, pakaian adat Simeulue dan masih banyak baju tradisional Aceh lainnya. Nama pakaian adat Aceh yang paling terkenal adalah pakaian adat Ulee Balang dengan beragam aksesoris baik untuk pria maupun wanita.

Baju adat Aceh menunjukkan keistimewaan tersendiri dimana terdapat ciri khas Budaya Aceh dan adat Aceh. pakaian adat Aceh sering dipakai pada upacara adat Aceh seperti peringatan hari besar, perkawinan adat Aceh dan lain sebagainya. Pada pakaian Aceh ini terdapat beragam aksesoris yang dipakai seperti rencong yang merupakan senjata tradisional Aceh, meukeutop, patam dhoe, mekesah dan lain sebagainya.

Aceh terletak di ujung paling barat Indonesia dengan beragam keistimewaan. Selain itu, Aceh juga memiliki segudang wisata alam, budaya, hingga makanan khas Aceh. anda berencana ingin mengekplorasi keindahan Aceh, anda bisa melihat paket tour Aceh Sabang berikut:

Bagi anda yang ingin mengetahui lebih jauh tentang baju adat Aceh, berikut daftar pakaian adat Aceh dan aksesorisnya:

  • 1. Pakaian Ulee Balang

Indonesia terkenal akan keanekaragaman budaya dan adatnya. Hal ini membuat adanya banyak pakaian tradisional dari setiap daerah di Indonesia. Salah satunya adalah pakaian ulee balang dari Aceh. Pakaian ini mendapatkan pengaruh dari Islam dan Melayu sehingga tampilan pakaian adat ini sangat tertutup. Pakaian adat ini sering digunakan dalam acara pernikahan dan tarian tradisional. Ada beberapa hal unik yang bisa dikulik dari pakaian adat ini.

  1. Ada Sejak Zaman Kerajaan

Pakaian Ulee Balang ini dulunya hanya dipakai oleh keluarga kerajaan, yaitu Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini sangat berkuasa di Aceh pada abad 13. Nama pakaian ini merupakan sebutan kepala pemerintah di kerajaan Aceh di tingkat kota dan kabupaten. Pakaian ini sangat kental dengan nuansa kerajaan di zaman dulu. Namun, saat ini pakaian ini bisa dikenakan oleh seluruh masyarakat Aceh dan Indonesia.

Lihat Juga:

  • Bernama Adat Linto Baro Untuk Ulee Balang Pria

Pakaian Ulee Balang terdiri dari pakaian adat pria dan wanita. Pakaian adat Aceh untuk kaum pria disebut Linto Baro. Pakaian adat ini terdiri dari tiga bagian yaitu bagian atas, tengah, serta bawah. Bagian atas ini merupakan penutup kepala yang berbentuk lonjong disebut meukeutop. Bagian tengahnya biasanya berupa baju tertutup. Bagian bawahnya biasanya disebut sebagai celana sileuweu berwarna hitam dari kain katun tenun.

  • Bernama Adat Daro Baro untuk Ulee Balang Wanita

Setelah Anda mengetahui Ulee Balang untuk pria, saatnya mengulas untuk busana wanitanya. Busana ini disebut Daro Baro. Bentuk pakaian adat ini menyerupai baju kurung atau gamis dengan sentuhan Arab, China, dan Melayu. Model pakaian adat ini tertutup dan longgar. Bahan pakaian ini biasanya terbuat dari benang sutera dengan motif benang emas.

  • Memiliki Filosofi Tersendiri

Pakaian adat Ulee Balang dari Aceh ini ternyata mempunyai filosofi dan makna tersendiri. Anda tak hanya memakai pakaian adat biasa tetapi juga bisa belajar filosofinya. Baju ini memiliki motif tumbuh-tumbuhan untuk dekorasinya yang berarti kebersamaan, kesuburan, dan pertumbuhan. Tak hanya itu, bagian mahkota pakaian adat ini juga berwarna-warni dari warna merah, hijau, kuning, hitam, dan putih. Setiap warna di meukeutop mempunyai filosofi tersendiri.

  • Dilengkapi dengan Aksesoris Agar Telihat Sempurna

Pakaian adat dari Aceh ini bisa dikenakan oleh pria dan wanita. Penampilannya akan terlihat sempurna dengan tambahan aksesoris. Tambahan ini membuat tampilan lebih berwibawa, elegan, dan menawan. Anda bisa menambahkan beberapa aksesoris pelengkap bila memakai pakaian Ulee Balang seperti meukeutop, ija lamgugap yang merupakan songket sutera, rencong, patam dhoe mahkota dengan kaligrafi lafadz Allah, subang yang merupakan anting-anting, dan taloe tokoe bieung meuih yang berupa kalung emas.

Lihat Juga:

  • Meukeutop

Meukeutop merupakan kopiah atau penutup kepala khas Aceh. Penutup kepala ini biasanya dipakai bersamaan dengan pakaian adat Aceh Ulee Balang. Topi ini digunakan dalam berbagai acara resmi dengan pakaian adat. Ada beberapa hal menarik terkait penutup kepala ini. Inilah ulasan menarik tentang kopiah Meukeutop.

  1. Sebagai Aksesoris Pelengkap Ulee Balang

Kopiah meukeutop ini adalah salah satu ikon dari Provinsi Aceh khususnya Kabupaten Aceh Barat. Penutup kepala tradisional ini biasanya digunakan sebagai aksesoris pelengkap pakaian adat bagi kaum pria. Kopiah ini biasanya digunakan saat menghadiri acara adat, upacara, ataupun seremonial lain. Pemakaian kopiah ini sudah seperti hal wajib bagi siapapun yang memakai pakaian adat Aceh agar terlihat menawan.

Lihat Juga:

  • Hanya Satu Jenis Model

Bila Anda melihat kopiah meukeutop ini, pastinya Anda bertanya dalam hati terkait modelnya. Kesannya model kopiah ini sama satu dengan lainnya. Bentuk dasar kopiah ini memang samadan hanya satu jenis saja. Modelnya tak bisa diubah karena sudah sangat paten. Kopiah ini mempunyai warna dasar kuning dan merah. Kainnya dirajut jadi satu sehingga membentuk lingkaran. Pinggiran kopiah ini mempunyai motif anyaman dengan kombinasi warna kuning, merah, hijau, dan hitam.

  • Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial Belanda

Kopiah Meukeutop ini adalah salah satu aksesoris tradisional khas dan ikon dari Aceh. Kopiah ini digunakan sebagai penutup kepala pakaian adat Aceh untuk menghadiri berbagai upacara adat. Kopiah ini ternyata sudah ada sejak lama yaitu sejak zaman kolonial Belanda. Dulunya kopiah ini disebut Tungkop karena berasal dari daerah Tungkop di Kabupaten Pidie. Pada zaman dahulu, kopiah ini hanya digunakan oleh para Sultan, Raja, dan ulama. Kopiah ini mempunyai ciri khas berbentuk lonjong, tinggi, dan berhiaskan lilitan kain sutera. Tak heran jika tampilan kopiah ini sangat mewah dan elegan.

  • Terdapat Tulisan Hijaiyah

Kopiah Meukeutop ini memiliki kombinasi motif dan warna. Motif anyaman dengan kombinasi warna hijau, hitam, kuning, dan merah ini terlihat menarik. Di bagian tengah kopiah ini memiliki lingkaran hijau dan hitam. Bila Anda melihat secara seksama, kopiah ini mempunyai tulisan hijaiyah Lam di bagian lingkaran kepala bawah. Kopiah ini ternyata memiliki 4 bagian dengan filosofinya sendiri.

  • Masuk Sebagai Warisan Budaya Tak Benda

Kopiah Meukeutop ini memiliki berbagai kombinasi warna dengan filosofinya sendiri. Misalnya merah adalah kepahlawanan, hijau agama, hitam mewakili ketegasan, kuning merupakan simbol negara, dan putih berarti suci. Ternyata kopiah ini masuk sebagai daftar Warisan Budaya Tak Benda di tahun 2021 yang berarti kopiah ini sangat ikonik. Bahkan kopiah ini juga dibangun sebagai tugu wisata di daerah Meulaboh, Aceh Barat saking ikoniknya.

Lihat Juga:

  • Sileuweu

Pakaian adat Aceh disebut Ulee Balang. Pakaian ini memiliki beberapa bagian mulai dari bagian atas, tengah, dan bawah. Tak hanya itu saja, pakaian ini biasanya dikenakan oleh kaum pria dan wanita dengan sebutan berbeda. Salah satu bagian pakaian adat Aceh untuk pria adalah celana Sileuweu yang merupakan bagian bawahan untuk pakaian tradisional tersebut. Sebelum Anda memilih celana adat ini, ada beberapa hal yang harus diketahui.

  1. Bawahan Untuk Baju Adat Meukeusah

Pakaian adat Aceh memang bermacam-macam dengan kombinasi warna yang menarik. Ada satu bagian bawah pakaian adat Aceh yang bisa digunakan untuk melengkapi penampilan Anda. Pakaian ini bernama celana Sileuweu yang merupakan bawahan untuk pakaian adat Meukeusah. Celana ini sangat cocok sekali dikombinasikan dengan baju adat tersebut. Celana tersebut memiliki warna dasar hitam dengan bahan katun sehingga tidak membuat gerah.

Lihat Juga:

  • Bentuk Melebar

Celana Sileuweu ini adalah komponen bawahan dari pakaian adat Aceh untuk pria yang disebut Linto Baro. Warnanya hitam ternyata cocok dikombinasikan dengan model yang unik. Bentuk celana ini melebar ke bagian bawah. Tentu saja dengan model melebar membuat penampilan terkesan gagah dan menawan. Celana ini sering kali disebut sebagai celana cekak Musang untuk digunakan kaum pria. Celana ini digunakan untuk menghadiri acara seremonial dan upacara adat di Aceh.

  • Sulaman Emas

Celana Sileuweu ini ternyata mempunyai hiasan sulaman emas  yang menarik di bagian bawah celananya. Sulaman ini membuat tampilan celana adat ini terlihat mewah dan menarik dipadukan dengan atasan adat Aceh yang sangat khas. Celana ini sangat cocok dikombinasikan dengan sarung songket sutera seperti Ija Songket, Ija Lamgugap, ataupun Ija Krong. Ketiga sarung songket itu biasanya diikatkan di bagian pinggang dengan panjang sarung di atas lutut.

  • Simbol Ketegasan

Tak hanya itu saja, ada hal lain yang harus diketahui terkait celana Sileuweu. Celana ini memiliki makna dan filosofi khusus yang membuat para pria bangga memakainya. Celana ini ternyata mempunyai makna ketegasan dan juga sebagai simbol kemakmuran di zaman kerajaan dulu. Celana berbahan dasar katun ini juga menjadi inspirasi celana khas di daerah Melayu. Simbol ketegasan ini akan terlihat lebih nyata bila Anda menambahkan sarung songket yang diikat di pinggang. Celana adat ini sangat ikonik dan dipakai oleh kaum pria di Aceh.

Celana Sileuweu ini bisa dipadukan dengan aksesoris yang tepat agar terlihat menarik. Selain kain songket sutera, maka Anda bisa memadukan dengan rencong. Apa itu rencong? Rencong adalah senjata khas dan tradisional Aceh. Senjata ini bisa diselipkan di bagian belakang celana adat ini untuk melengkapi penampilan kaum pria di acara seremonial.

  • Rencong
Senjata tradisional Aceh

Aceh adalah daerah paling utara dari salah satu pulau terbesar di Indonesia dan dunia yaitu Sumatera. Aceh memiliki beberapa nama panggilan dan salah satunya adalah tanah rencong. Layaknya banyak daerah lain di Indonesia, Aceh juga memiliki senjata khasnya sendiri yang disebut dengan rencong yang kemudian menjadi julukan daerah tersebut.

Bagaimana sejarah rencong sehingga bisa menjadi begitu tidak terpisahkan dengan identitas Aceh?

Simbol Keberanian

Jika keris senjata tajam khas Jawa biasanya disematkan di pinggang bagian belakang, tidak begitu dengan rencong. Ketika keris disimpan dalam konteks untuk disembunyikan, rencong disematkan di pinggang bagian depan, menunjukkan kesan keberanian dan kesiapan bertempur sampai titik darah penghabisan baik pria maupun wanita.

Lihat Juga:

Sejarah rencong sendiri tidak begitu jelas, terdapat cerita rakyat yang dianggap sebagai asal usul rencong. Cerita tersebut tentang bagaimana pada zaman dahulu ada seekor burung yang selalu mengganggu warga Aceh. Sang raja waktu itu pun berdoa kepada Tuhan untuk memberikan petunjuk tentang membuat senjata yang bisa membunuh burung tersebut, dan rencong yang menyerupai tulisan bismillah dalam aksara Arab pun muncul.

Namun untuk sejarah asli rencong terdapat dua versi yaitu rencong dibuat pada abad ke 16 pada masa pemerintahan Sultan Al Kahar yang dekat dengan Khalifah Ottoman Turki dan meminta bantuan untuk melawan orang Portugis. Sedangkan versi kedua adalah rencong dibuat oleh seorang tokoh bernama Pocut Muhammad yang memerintahkan pembuatan rencong karena persediaan baja yang banyak.

Walaupun rencong adalah senjata dan pakaian khas Aceh, namun terdapat tingkatan berbeda tergantung pada siapa yang sedang menggunakan senjata ini. Jika pemegangnya adalah Sultan atau Raja, bilah pisau rencong akan terbuat dari emas dan sarungnya terbuat dari gading. Sedangkan untuk masyarakat biasa, belati akan terbuat dari kuningan dan sarungnya terbuat dari tanduk kerbau.

Jenis-jenis Rencong

Tidak hanya material pisau dan sarung yang berbeda tergantung pemegangnya, rencong juga memiliki berbagai jenis yang berbeda. Yang pertama adalah rencong meucugek di mana pada gagang rencong tersebut terdapat sebuah cugek atau meucugek yang dalam istilah lokal Aceh memiliki arti perekat atau panahan.

Jenis kedua bernama rencong pudoi yang berarti rencong yang masih belum sempurna dan kekurangan dari rencong ini bisa dilihat pada gagangnya. Selanjutny ada rencong meupucok yang pucuk gagangnya terbuat dari emas atau gading. Pangkal gagang juga dihiasi emas bahkan permata.

Jenis rencong selanjutnya adalah rencong hulu puntong dengan belati yang ditempa dengan logam. Kepala rencong juga dibuat dari tanduk kerbau atau kayu. Terakhir adalah rencong meukure yang memiliki hiasan-hiasan yang unik yaitu lipan, ular atau bunga.

Lihat Juga:

  • Cekak Musang

Melayu baik bahasa maupun pakaian adatnya adalah kesamaan paling mencolok dari Malaysia dan Indonesia, terutama Sumatera bagian timur yaitu Riau baik daratan maupun kepulauan. Salah satu yang khas dari budaya Melayu yang bisa dengan mudah ditemukan adalah baju kurung Cekak Musang yang memiliki banyak serba-serbi.

Apa Itu Cekak Musang?

Cekak Musang adalah sebuah pakaian khas Melayu untuk kaum pria yang memiliki bagian kerah cukup tinggi yaitu sekitar 2,5 cm. Baju ini juga memiliki ukuran yang panjang, dan ketika dipakai biasanya dibarengi dengan pesak dan kekek. Pakaian ini juga memiliki tiga buah saku yaitu satu di sisi kiri dada, dan dua di sekitar perut sebelah kiri dan kanan.

Lihat Juga:

Asal-usul Cekak Musang

Pakaian adat ini berasal dari daerah Johor di Malaysia, lebih cepatnya daerah bernama Lingga. Sedangkan sejarahnya, baju kurung ini tergolong masih baru yaitu mulai diperkenalkan sekitar tahun 1930 sampai 1940-an. Ketika melihat desain baju ini, terlihat seperti sebuah pakaian yang mirip dengan gamis laki-laki namun kemudian ukurannya dikurangi sehingga menjadi lebih pendek yaitu setinggi pinggang.

Untuk penggunaannya, baju kurung Cekak Musang ini digunakan pada umumnya ketika acara adat Melayu maupun ketika hari besar Islam seperti Idul Fitri. Pemakaian baju kurung ini biasanya dibarengi dengan celana yang berwarna sama dengan baju atasan, lengkap dengan kain bermotif. Tidak hanya itu, biasanya pemakaian pakaian ini juga dilengkapi dengan songkok hitam.

Beberapa Jenis Cekak Musang

Selain di Riau, Cekak Musang juga populer di Aceh dan sering dianggap sebagai pakaian khas Aceh. Terdapat berbagai jenis pakaian adat Melayu ini yang bisa membuat pemakainya tidak bosan. Jenis pertama adalah Cekak Musang polos yang sangat simpel yaitu hanya baju kurung dan celana dengan warna sama, tanpa kain atau sarung.

Selanjutnya ada baju Cekak Musang dengan pemakaian kain songket yang akan digunakan untuk menutupi bagian atas celana yang digunakan dari pinggang sampai ke area lutut. Perlu diketahui, warna baju kurung atasan dan celana masih sama, hanya kain songket bermotif akan menjadi pemanis yang membuatnya berbeda.

Jenis selanjutnya adalah baju Cekak Musang dengan panjang lengan yang tidak penuh yaitu hanya seperempat saja. Kain songket atau sarung juga digunakan, namun warna celana yang digunakan akan berbeda dengan warna baju atasan.

Itu dia asal-usul pakaian adat Melayu Cekak Musang beserta berbagai jenis berbeda yang bisa digunakan setiap acara adat atau hari raya. Cekak Musang adalah pakaian kombinasi antara adat melayu dan agama Islam yang sangat elegan dan nyaman digunakan dalam waktu lama.

Lihat Juga:

  • Baju Meukesah

Indonesia adalah negara dengan berbagai jenis suku bangsa yang memiliki berbagai hasil budaya yang berbeda mulai dari bahasa sampai pakaian adat, termasuk Aceh atau yang juga biasa disebut Tanah Rencong. Untuk pakaian pria, biasanya baju meukesah akan menjadi bagian atasan. Berikut berbagai elemen dalam pakaian Linto Baro untuk pria Aceh.

Baju Meukesah

Pakaian Linto Baro akan dimulai dengan atasan berupa baju meukesah yang berbentuk seperti blazer atau beskap. Pakaian ini sudah digunakan oleh para pria Aceh untuk acara-acara tertentu sejak zaman kerajaan Perlak maupun Samudra Pasai. Pada umumnya baju meukesah ini akan berwarna hitam dan terbuat dari bahan kapas maupun sutra.

Lihat Juga:

Warna hitam digunakan karena melambangkan kebesaran yang harus dimiliki oleh seorang pria. Pada baju meukesah akan dapat ditemukan sulaman-sulaman benang dengan warna emas yang terdapat pada bagian leher sampai dada kemudian juga ujung lengan. Biasanya motif yang digunakan didasarkan pada bunga atau sulur daun.

Celana Sileuweu dan Kain Sarung

Untuk bagian celana, baju meukesah akan dilengkapi dengan celana sileuweu yang juga berwarna hitam dan dibuat dari bahan katun. Bentuk celana ini melebar ke bawah dan juga dihiasi sulaman berwarna emas. Kemudian, sarung yang dibuat dari songket akan digunakan di bagian depan celana dari pinggang sampai lutut yang akan semakin menunjukkan wibawa pemakainya.

Meukeutop

Elemen selanjutnya dalam pakaian khas Aceh adalah meukeutop yang akan dipakai di kepala penggunanya. Jika dilihat sekilas, meukeutop ini sangat mirip dengan penutup kepala yang digunakan para lelaki pada masa kekaisaran Ottoman di Turki. Hal ini terjadi karena pada zaman dahulu, Aceh dan Ottoman memiliki hubungan yang sangat dekat.

Meukeutop ini dibuat dari kain tenun yang kemudian disulam, biasanya akan berwarna hijau, merah, hitam atau kuning. Pada bagian atas penutup kepala ini, akan terdapat sebuah tampoek yang dibuat dari bahan emas bahkan kadang juga dilengkapi dengan permata.

Rencong

Yang diperlukan selanjutnya untuk melengkapi pakaian adat Aceh ini adalah tentu saja senjata khasnya yaitu rencong. Jika di Jawa keris diposisikan di belakang, di Aceh rencong akan diposisikan di bagian depan sebagai lambang kesiapan para pria Aceh untuk bertempur. Bagian gagang juga akan dirancang supaya muncul keluar untuk semakin menegaskan kesiapan tersebut.

Dimulai dari baju meukeusah, celana sileuweu atau cekak musang, sarung songket, mekeutop sebagai penutup kepala, kemudian rencong dan pakaian adat Aceh pun komplit. Pakaian Linto Baro ini biasanya digunakan oleh para pria untuk acara-acara besar seperti acara pernikahan, sedangkan untuk wanita, nama pakaian adatnya adalah Daro Baro.

Lihat Juga:

  • Baju Dara Baro

Baju Dara Baro adalah salah satu pakaian khas Aceh yang biasanya dipakai oleh perempuan Aceh ketika melangsungkan pernikahan. Pakaian adat yang satu ini terdiri dari baju kurung, penutup kepala, celana, serta berbagai macam aksesoris yang membuat tampilannya semakin cantik. Seperti halnya pakaian khas Aceh lainnya, Dara Baro juga dilengkapi dengan berbagai macam perhiasan supaya perempuan yang menggunakannya terlihat lebih mempesona.

Lihat Juga:

Bagaimana Pakaian Khas Aceh, Baju Dara Baro saat Digunakan?

Baju Dara Baro sendiri mempunyai dominan warna yang cukup beragam, seperti misalnya ungu, merah, hijau, atau kuning. Lalu, apa saja aksesoris yang digunakan bersama dengan pakaian khas Aceh yang satu ini? Yuk simak penjelasan lengkapnya di bawah ini:

1. Baju Kurung

Baju kurung ini adalah atasan yang nantinya akan digunakan oleh perempuan Aceh ketika memakai pakaian khas Aceh yang satu ini. Adapun bahan dasar dari baju kurung ini yaitu hampir mirip dengan baju adat Aceh lain seperti baju Meukeusah, yaitu kain tenun yang terbuat dari bahan sutra dengan sulaman emas yang bermotif indah.

Baju kurung ini adalah perpaduan dari budaya Melayu, China, dan Islam. Kerah pada bagian baju kurung hampir serupa dengan pakaian perempuan dari China. Bentuk dari gaunnya sendiri cukup panjang sampai pinggul, menutup tubuh, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh perempuan. Hal ini bertujuan untuk menyesuaikan budaya Melayu dan juga Islam.

2. Celana Cekak Musang

Celana yang satu ini adalah setelan bawahan dari baju kurung. Biasanya, celana ini dipakai oleh para pria dan juga perempuan Aceh. Mulai dari bentuk ataupun bahannya sama, tapi warnanya cukup beragam, tidak hanya hitam seperti yang digunakan oleh pria.

3. Sarung

Supaya pinggul perempuan lebih tertutup, maka para perempuan Aceh akan menggunakan sarung sebagai lapisan luar dari celana cekak musang. Sarung yang satu ini biasanya terbuat dari kain songket yang diikat dengan ikat pinggang yang berbahan perak ataupun emas (biasanya disebut sebagai Taloe Kiieng Patah Sikureung)

3. Patam Dhoe

Pakaian khas Aceh tentunya akan menyesuaikan dengan nilai-nilai agama Islam. Dengan begitu, semua desainnya juga akan disesuaikan agar tetap menutup aurat perempuan. Hal tersebut tidak terlepas dari penutup kepala yang disebut sebagai Patam Dhoe. Penutup kepala yang satu ini merupakan perhiasan yang berupa mahkota yang didesain supaya bisa menutup kepala perempuan. Sebelum menggunakan aksesoris ini, perempuan Aceh dianjurkan untuk menggunakan jilbab terlebih dulu.

4. Keureusang

Keureusang atau yang biasa disebut bros ini digunakan dengan cara disematkan pada permukaan gaun. Pakaian khas Aceh ini tergolong barang yang mewah karena terbuat dari emas. Umumnya aksesoris ini digunakan bersama dengan baju Dara Baro agar tampilan perempuan Aceh semakin glamor dan mewah.

Itulah penjelasan mengenai pakaian khas Aceh baju Dara Baro dan beberapa aksesoris pelengkapnya. Semoga bermanfaat.

Lihat Juga:

  • Patam Dhoe

Patam Dhoe merupakan salah satu aksesoris pada pakaian khas Aceh yang terbuat dari perak ataupun emas. Bentuk dari perhiasan ini mirip seperti mahkota namun terbagi atas tiga bagian dan dihubungkan menggunakan sistem engsel. Untuk bagian tengah atas terdapat ukiran piligran motif tumbal dan 5 buah permata sailan yang berwarna merah jambu. Kemudian pada bagian kiri dan juga kanan masing-masing terdapat lima pohon dengan daun serta bunga motif hati. Berikutnya, ada ukiran kaligrafi yang dilingkari dengan ukiran motif bola kecil dan juga bunga.

Lihat Juga:

Filosofi Pakaian Khas Aceh: Patam Dhoe

Pada dasarnya, pakaian khas Aceh selalu menyesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, hampir semua desain yang digunakan pasti menutup perempuan. Hal tersebut tidak terlepas dari penutup kepala seperti Patam Dhoe. Penutup kepala yang satu ini merupakan perhiasan atau aksesoris yang berupa mahkota dan diciptakan untuk menutupi aurat kepala perempuan.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Patam Dhoe ini didesain dengan motif kaligrafi yang bertuliskan lafadz Allah dan Muhammad SAW. Biasanya masyarakat Aceh menyebut kombinasi lafadz dan juga kaligrafi tersebut dengan sebutan Bungoh Kalimah. Mahkota ini umumnya dipakai sebagai tanda bahwa perempuan tersebut sudah menikah dan suaminya mempunyai tanggung jawab atas istrinya

Selain Patam Dhoe, pakaian khas Aceh perempuan yang juga dilengkapi dengan berbagai macam perhiasan seperti:

1. Perhiasan

Kepala dan juga bagian tubuh perempuan Aceh lainnya juga nantinya akan dilengkapi dengan berbagai macam aksesoris unik seperti anting, gelang, dan juga kalung. Mulai dari Patam Dhoe yang diletakkan pada dahi, terbuat dari emas 24 karat. Kemudian ditambah lagi dengan Serkonia putih 5 butir, beratnya sendiri mencapai 160 gram. Setelah itu, rasanya tidak lengkap bila pengantin perempuan tidak menggunakan Gleung Goki atau gelang kaki yang terbuat dari tembaga berlapis perak.

2. Keureusang

Keureusang atau bros ini adalah salah satu perhiasan yang panjangnya mencapai 10 centimeter dengan lebar 7,5 centimeter. Perhiasan yang satu ini nantinya akan disematkan pada gaun dan biasanya terbuat dari emas dengan tambahan berlain.

3. Untai Peuniti

Untai Peuniti merupakan salah satu perhiasan unik yang digunakan untuk mempercantik pakaian khas Aceh. Biasanya aksesoris ini terbuat dari emas dengan 3 motif berbeda. Motif dari Untai Peuniti ini dibuat menggunakan ukiran yang ditenun dengan pola pakis atau kuncup bunga. Kemudian, pada bagian tengahnya ada motif boh eungkot atau titik kecil seperti telur ikan. Motif yang satu ini terinspirasi dari rumah khas Aceh, sehingga bentuknya sangat unik dan menarik.

Itulah beberapa penjelasan mengenai aksesoris Patam Dhoe yang ada pada pakaian khas Aceh. Semoga bermanfaat.

Lihat Juga:

  • Piring Dhoe

Piring Dhoe adalah salah satu perhiasan tradisional yang biasanya digunakan untuk menunjang penampilan perempuan Aceh. Perhiasan ini akan digunakan bersama dengan Dara Baro, yakni pakaian khas Aceh untuk perempuan. Seperti yang kita tahu bahwa perhiasan tradisional merupakan salah satu kekayaan budaya yang wajib dilestarikan. Salah satunya adalah Piring Dhoe yang menjadi warisan nenek moyang yang berhasil mengolah emas ataupun logam sejak masa kebudayaan perunggu.

Deretan Perhiasan Tradisional pada Pakaian Khas Aceh

Perhiasan tradisional yang digunakan oleh pengantin perempuan di pakaian khas Aceh memang cukup beragam. Misalnya saja Piring Dhoe sebagai hiasan kepala yang terbuat dari emas ataupun perak. Bentuknya sendiri seperti mahkota.

Lihat Juga:

Selain Piring Dhoe, berikut ini adalah deretan perhiasan tradisional yang biasanya digunakan untuk menunjang penampilan perempuan saat menggunakan pakaian khas Aceh, diantaranya yaitu:

1. Anting atau Subang Aceh

Subang Aceh ini merupakan perhiasan tradisional yang terbuat dari emas yang berhiaskan permata. Untuk diameternya biasanya mencapai 6 centimeter dan bentuknya mirip seperti bunga matahari yang berkelopak runcing.

2. Kalung

Kalung ini biasanya disebut dengan Taloe Takue Bieng Meuih. Perhiasan yang satu ini terbuat dari emas dan mempunyai enam buah keping yang berbentuk hati. Selain itu, ada juga satu buah keping lagi yang berbentuk seperti kepiting. Kalung yang satu ini umumnya digunakan untuk menunjang penampilan pengantin perempuan saat menggunakan pakaian khas Aceh.

3. Bros

Bros atau yang sering disebut Keureusang ini memiliki bentuk seperti hati yang panjangnya 10 centimeter dengan lebar 7,5 centimeter. Perhiasan tradisional yang satu ini merupakan barang yang cukup mewah karena terbuat dari emas yang berlapis intan dengan jumlah mencapai 102 butir.

Selain itu, ada juga hiasan dengan nama Simplah yang disematkan pada bagian dada dan umumnya terbuat dari emas atau perak sepuh emas. Simplah sendiri terdiri dari 26 buah lempengan kecil yang berbentuk segi enam. Kemudian ada juga lempengan besar dengan bentuk segi delapan.

Setiap lempengan tersebut akan dihiasi oleh serpihan permata yang berwarna merah. Lalu lempengan kecil yang berjumlah 26 tersebut nantinya akan disusun menjadi 4 kelopak bunga yang dirangkai menggunakan rantai emas.

4. Hiasan Kepala

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hiasan kepala yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan adalah Piring Dhoe dan juga Culok Ok. Piring Dhoe sendiri memiliki bentuk seperti mahkota, sedangkan Culok Ok berbentuk seperti tusuk konde yang terdiri dari empat jenis. Mulai dari bungong keupula atau bunga tanjung, lalu ada ulat sangkadu, bintang pecah, dan juga bungong sunteng.

Itulah penjelasan mengenai deretan perhiasan tradisional yang digunakan untuk menunjang penampilan perempuan ketika menggunakan pakaian khas Aceh. Semoga bermanfaat.

Lihat Juga:

  • Subang Aceh

Subang Aceh merupakan salah satu perhiasan khas Aceh yang masih eksis sampai sekarang. Bentuknya begitu unik, menarik, dan sangat indah dipandang. Aceh memang banyak dikenal memiliki berbagai jenis pernak-pernik perhiasan tradisional yang umumnya digunakan pada suatu acara tertentu.

Tiap perhiasan khas Aceh tersebut memiliki ragam keunikannya tersendiri. Mari simak lebih dalam mengenai salah satu perhiasan khas dari Aceh ini supaya dapat memberikan wawasan dan ilmu yang lebih luas khususnya tentang kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia yang sangat luas dan begitu beraneka ragam ini.

Lihat Juga:

Perhiasan Anting-Anting Khas dari Aceh

Subang Aceh adalah perhiasan berupa anting-anting tradisional yang khas dari Aceh dan perhiasan ini berbentuk mirip seperti bunga matahari. Subang sebagai perhiasan anting-anting ini dibuat dari emas dan juga perak. Memiliki ukuran diameter sekitar 6 cm, dan anting ini ujung kelopaknya berbentuk runcing. Adapun letak keunikan perhiasan berupa anting-anting khas Aceh ini ada di bagian atas lempengan yang berbentuk bunga matahari, yaitu disebut dengan “Sigeudo Subang”.

Selain anting ini, ada juga berbagai perhiasan tradisional khas lainnya dari Aceh. Perhiasan tersebut antara lain yaitu Peuniti, Ayeum Gumbak, Keureusang, Culok Ok (Tusuk Konde), Patam Dhoe, dan lain-lain. Kebanyakan perhiasan tradisional tersebut terbuat dari emas. Dari sini bisa memperluas wawasan Anda tentang ragam perhiasan khas indonesia contohnya khas Aceh, dan juga bisa meningkatkan rasa toleransi terhadap keberagaman suku dan budaya di Indonesia.

Sekilas Tentang Perhiasan Tradisional Aceh yang Bernilai Tinggi

Aceh adalah salah satu daerah di Indonesia yang sangat kental dengan budayanya. Terdapat sejumlah keragaman budaya dengan berbagai makna mendalam. Aceh memiliki banyak pakaian khas atau baju adat tradisional serta perhiasan-perhiasan tradisional yang sangat bernilai tinggi. Terlihat dari perhiasan seperti anting tadi, yaitu banyaknya perhiasan khas dari Aceh yang terbuat dari emas.

Keanekaragaman perhiasan khas Aceh yang terbuat dari emas tersebut tak terlepas dari faktor kondisi geografisnya. Sekedar informasi, Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam merupakan sebuah daerah yang letaknya berada di Pulau Sumatera. Pulau ini dikenal sejak dulu sebagai pulau penghasil emas, bahkan sudah sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Kekayaan emas di pulau ini menjadikan banyak pengrajin merasa “termotivasi” untuk bisa menghasilkan berbagai perhiasan bernilai tinggi.

Sejak zaman dahulu kala, para pengrajin perhiasan di sini membuat perhiasan tersebut dengan penuh kehati-hatian dan mengerjakannya dengan sangat rapi, sehingga kualitasnya betul-betul tinggi. Tak sedikit kolektor-kolektor perhiasan di berbagai belahan dunia ingin memburu perhiasan khas Aceh buatan zaman dahulu yang bernilai sangat tinggi tersebut.

Itulah sekilas tentang perhiasan tradisional khas dari Aceh, yaitu Subang Aceh. Semoga artikel ini dapat memotivasi untuk terus saling menghargai keanekaragaman suku bangsa dan juga budaya di Indonesia.

Lihat Juga:

  • Kain Songket Aceh

Kain Songket Aceh adalah suatu kerajinan tangan yang dibuat dengan cara tradisional yaitu dengan menggunakan alat tenun (bukan mesin). Dengan alat tersebut, penenun bisa menggerakkannya menggunakan kaki dan juga tangan. Keberadaan songket Aceh sekarang ini tak terlepas dari peranan masyarakat di Aceh yang sudah mewariskan tradisi menenun secara turun-temurun khususnya pada pembuatan songket Aceh.

Lihat Juga:

Tak hanya memiliki corak dan motif yang cantik, kain songket juga memiliki sejarahnya tersendiri. Simak selengkapnya berikut ini tentang sekilas sejarah dari songket Aceh, dan motif kain songket Aceh.

Sejarah Songket Aceh

Sebenarnya, budaya menenun pada masyarakat Aceh ini memang sudah ada sejak zaman dahulu kala bahkan sejak zaman penjajahan, diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Namun, salah satu penenun yang sangat berpengaruh pada perkembangan dunia usaha tenun songket Aceh ini adalah Nyak Mu.

Nyak Mu telah menjaga serta mewariskan tradisi penciptaan tenun songket Aceh ini dari nenek dan nenek buyutnya terdahulu ke generasi yang lebih muda, tidak hanya diturunkan kepada anak cucunya saja, tetapi Nyak Mu juga wariskan ke banyak perempuan di Aceh. Dari sejak pertama mendirikan usaha kain tenun songket Aceh pada zaman dulu, Nyak Mu sudah berhasil menjadi guru yang mengajarkan tradisi tersebut kepada banyak sekali perempuan Aceh yang datang dari berbagai daerah di Aceh.

Setelah Nyak Mu, anak dari Nyak Mu lah yang gantian mewariskannya. Nyak Mu ialah sosok yang melegenda yang telah berperan penting memperkenalkan kerajinan tenun songket Aceh ini ke seluruh pelosok di Indonesia. Dulu, karakteristik tenun songket Aceh dilihat dari warnanya, masih didominasi warna daerah yakni didominasi warna kuning, hijau dan merah. Warna warna tersebut memiliki simbol yang dianggap bisa mewakili unsur masyarakat Aceh zaman dahulu.

Namun, seiring berjalannya waktu tren mode terus berkembang. Kini kain songket Aceh sudah banyak hadir dalam berbagai warna yang lebih bervariasi.

Motif Motif Songket Aceh

Anda bisa menemukan kain songket dari Aceh dengan motif yang bervariasi serta harga kain songket Aceh yang bervariasi pula. Motif yang ada pada kain ini tentunya bukan semata-mata untuk hiasan saja, tetapi juga punya makna filosofis yang begitu mendalam. Diantara semua motif songket Aceh, ada salah satu motif yang paling populer yaitu dinamakan motif Bungong.

Ada motif motif lainnya yang juga menarik, antara lain yaitu motif buah, motif bunga, awan, dan lain sebagainya. Salah satu contoh motif buah adalah motif buah delima.

Selain itu, sebenarnya masih ada banyak lagi jenis motif pada kain tenun atau kain songket Aceh yang memiliki makna filosofis. Seiring berkembangnya zaman, telah mulai bermunculan banyak perpaduan warna songket yang indah.

Lihat Juga:

  • 2. Pakaian Adat Gayo

Pakaian Adat Gayo yang dinamakan Kerawang Gayo merupakan suatu pakaian adat tradisional yang berasal dari suku Gayo, Aceh. Pakaian ini dikenakan pada saat suatu acara tertentu yang tentunya tidak sembarangan. Pada saat mengenakan pakaian Kerawang Gayo, biasanya juga ditambah dengan penggunaan aksesoris atau perhiasannya. Perlu diketahui, bahwa pakaian ini ada beberapa macamnya, simak pembahasan tentang pakaian Kerawang Gayo berikut ini.

Jenis dan Ciri Khas Busana Adat Gayo

Pada dasarnya, pakaian adat Gayo Aceh ini merupakan pakaian adat pengantin. Dulunya banyak sekali digunakan oleh para masyarakat suku Aceh Gayo dan hingga sekarang ini masih ada dan masih bertahan.

Pakaian adat suku Gayo di Aceh terbagi jadi dua jenis, yaitu Aman Mayok dan Ineun Mayok. Pakaian Aman Mayok khusus digunakan untuk para laki-laki Aceh Gayo, sedangkan Ineun Mayok secara khusus dibuat untuk para perempuan Aceh Gayo.

Pakaian untuk pengantin laki-laki yaitu Aman Mayok memiliki aksen Bulang Pengkah yang mana itu fungsinya adalah sebagai tempat menancapnya sunting. Pakaiannya disertai dengan berbagai perlengkapan yaitu seperti ponok (semacam keris), genit rante, sejumlah gelang di lengan, cincin, dan lain-lain.

Sementara itu, jenis pakaian yang khusus untuk mempelai wanita (Ineun Mayok) didesain secara Islami mengingat kuatnya pengaruh agama Islam di dalam budaya Aceh. Setelan baju yang khusus wanita ini terdiri dari atasan yaitu baju, bawahan yaitu celana, lalu ada sarung pawak, serta ikat pinggang khusus. Pada wanita juga bisa ditambahkan perhiasan ataupun aksesori.

Ciri khas pakaian adat Gayo adalah pada warna termasuk warna kain latarnya, serta pada bentuk motifnya. Adapun warna warna yang biasanya digunakan untuk jadi warna motif hias baju Kerawang Gayo adalah warna hitam, merah, kuning, atau putih. Lalu motif motif yang ada pada baju ini ada banyak, beberapa diantaranya yaitu ada motif Bunge kipes, Puter tali, Sesirung, Tulenni Iken, Gegaping, Bunge panah, Mun berangkat, Ulen, Mata itik, Pucuk rebung, dan lain-lain.

Penggunaan Busana Adat Gayo

Mengingat ini adalah pakaian adat pengantin, maka pemakaiannya adalah pada saat melangsungkan acara pernikahan adat Gayo (Kerje Mungerje) yang mana nantinya pakaian ini akan dikenakan oleh kedua pengantinnya. Selain itu, pakaian Adat Gayo juga biasanya dikenakan pada acara tarian adat, upacara menyambut tamu, hingga upacara Petaweren atau tepung tawar, yaitu semacam upacara tradisional.

Pakaian adat Gayo yang bernama Kerawang Gayo tak hanya bisa memikat dengan keindahannya secara visual, tetapi juga bisa memikat hati dengan berbagai makna filosofis mendalam yang ada pada tiap motif dan juga warnanya tersebut. Itu dia jenis, ciri khas serta penggunaan baju adat Gayo yang perlu anda ketahui.

  • 3. Pakaian Adat Singkil

Provinsi Aceh memiliki keanekaragaman budaya di berbagai daerahnya, salah satunya yaitu pakaian adat Singkil khas dari Aceh Singkil. Suku Singkil turut serta dalam meramaikan kebudayaan di Aceh yaitu melalui benda seni yang berupa pakaian/busana adat yang sangat memukau tersebut.

Selain busana adat Singkil, daerah Aceh Singkil juga memiliki berbagai sesuatu yang “khas” lainnya yang tentunya sayang sekali jika dilewatkan ketika Anda berlibur ke Aceh Singkil, yaitu oleh-olehnya. Anda mungkin penasaran tentang baju adat Singkil serta beragam oleh-oleh khas Aceh Singkil, berikut ini pembahasannya.

Busana Adat Singkil

Pakaian adat Singkil dari Aceh Singkil merupakan pakaian yang umumnya dipakai pada saat berlangsungnya acara tertentu. Misalnya yaitu pada saat acara pesta pernikahan, serta kerap dipakai di acara penting pemerintahan di sana. Siapa pun, baik perempuan maupun laki-laki bisa tampil dengan elegan dan menawan ketika mengenakan baju ini pada suatu acara resmi tersebut.

Baju adat Singkil yang untuk perempuan biasanya sangat khas. Helai bajunya memiliki warna merah yang cenderung terang, serta tidak berkerah. Lalu, pada bagian depannya terdapat hiasan berwarna keemasan yang menjuntai. Selain warna merah, ada juga yang bajunya berwarna hitam.

Sedangkan busana adat Singkil yang untuk laki-laki juga disertai dengan berbagai hiasan-hiasannya, namun hiasannya tersebut tidak terlalu ramai. Itulah sekilas tentang pakaian adat Singkil.

Beberapa Oleh-Oleh Khas Aceh Singkil

Jangan salah, di Aceh Singkil terdapat beragam buah tangan yang unik-unik, lho. Ketika berkunjung ke sini, sebaiknya Anda tak melewatkan untuk membeli oleh-oleh khas dari Aceh Singkil. Berikut ini adalah beberapa rekomendasi oleh-oleh yang khas dari Aceh Singkil.

Rekomendasi oleh-oleh yang pertama yaitu Lokan Krispi. Biasanya lokan atau kerang laut diolah jadi beragam sajian yang lezat, dimasak dengan cara dijadikan sate atau dipanggang. Tetapi, kini berbagai pelaku UMKM punya cara baru supaya Lokan bisa dibawa pulang oleh para wisatawan, contohnya yaitu dijadikan Lokan Krispi yang tersedia dalam versi kering dan bisa tahan lama.

Selain Lokan Krispi, ada juga Kerupuk Awu-Awu, sejenis camilan yang berbahan dasar ikan Awu-Awu. Ikan tersebut sering kali diolah jadi kerupuk yang aroma dan rasa lautnya sangat khas. Kemudian rekomendasi lainnya yaitu Kerupuk Sagu. Masyarakat Aceh Singkil memang sangat kreatif terutama dalam mengolah sagu menjadi camilan yang krispi dan gurih.

Masih ada oleh-oleh unik lainnya berupa makanan ringan khas dari Aceh Singkil yaitu seperti mayang papan, kue sangko, gulo gulo runyit, kipang pulut, keripik ubi, dan lain-lain.

Demikianlah beberapa rekomendasi oleh-oleh dari Aceh Singkil, serta tentang pakaian adat Singkil yang perlu Anda ketahui. Pasti menyenangkan sekali berbelanja oleh-oleh setelah selesai menikmati liburan di Aceh Singkil bersama keluarga.

  • 4. Pakaian Adat Aneuk Jamee

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki berbagai suku yang menghuni kawasan ini salah satunya adalah suku Aneuk Jamee. Suku ini memiliki pakaian adat Aneuk Jamee yang berbeda dengan suku di daerah Aceh lainnya.

Perbedaan ini karena adanya percampuran budaya dalam latar belakang suku Aneuk Jamee sendiri. Memberikan kesan unik pada pakaian adatnya dengan pengaruh daerah luar Aceh.

Tentang Suku Aneuk Jamee

Seperti yang disebutkan sebelumnya keunikan pada pakaian adat Aneuk Jamee berasal dari percampuran budaya dari luar Aceh. Karena menurut catatan sejarah, Suku Aneuk Jamee merupakan suku pendatang yang berasal dari Minangkabau.

Tepatnya, berasal dari Pariaman, Rao, Pasaman, dan Lubuk Sikaping. Migrasi ini didorong oleh pecahnya Perang Padri di daerah Minangkabau yang terjadi pada tahun 1836. Kata Aneuk Jamee sendiri memiliki arti ‘orang tamu’ dalam Bahasa Aceh.

Hal ini menegaskan bahwa Aneuk Jamee merupakan suku yang berasal dari luar Aceh. Namun, seiring dengan berjalannya waktu telah menyatu menjadi bagian dari budaya Aceh.

Ulee Balang Sebagai Pakaian Adat Aneuk Jamee di Aceh

Nama pakaian adat yang digunakan oleh suku ini adalah Ulee Balang. Kata Ulee Balang sendiri ternyata merupakan adaptasi dari kata dalam Bahasa Melayu yaitu Hulubalang. Memiliki arti masyarakat yang berasal dari golongan bangsawan.

Pakaian adat Ulee Balang ini terdapat dua macam yaitu Linto Baro, yang merupakan pakaian adat untuk pria. Kemudian, Daro Baro yang merupakan pakaian adat untuk perempuan. Berikut adalah penjelasan selengkapnya:

1. Linto Baro

Seperti yang disebutkan sebelumnya, Linto Baro adalah pakaian adat yang digunakan oleh laki-laki. Linto Baro biasanya dilengkapi dengan Baje Meukasah atau jas, kemudian dipadukan dengan Ija Lamgugap atau sarung songket pria yang digunakan di pinggang.

Pada Baje Meukasah biasanya diberikan sulaman khusus yang memperlihatkan status penggunanya. Baje Meukasah wajib menggunakan latar hitam, kemudian sulamannya menggunakan warna-warna cerah seperti emas, kuning, dan berbagai warna lainnya.

2. Daro Baro

Pada Daro Baro atau pakaian adat yang digunakan oleh perempuan. Pakaian adat ini akan dilengkapi dengan berbagai perhiasaan. Mulai dari kalung, gelang, anting-anting sampai dengan Patam Dhoe atau mahkota.

Selain itu, baju kurung songket yang digunakan oleh pihak perempuan pasti akan dilengkapi dengan motif yang terang dan mencolok. Kemudian, dilengkapi dengan boh dokma yang digunakan di bagian leher.

Pakain adat Ulee Balang ini sebenarnya bukan pakaian khusus suku Aneuk Jamee saja. Pakaian adat ini juga digunakan oleh suku Tamiang dan suku Aceh. Terutama, pada penyelenggaraan acara-acara penting seperti pernikahan.

Namun, pada pakaian adat Aneuk Jamee sendiri terdapat motif-motif dan warna-warna khas. hasil dari perpaduan budaya Minangkabau dan Aceh. Membuktikan kesatuan budaya yang kaya di Indonesia.

  • 5. Pakaian Adat Alas

Suku Alas merupakan salah satu suku yang menghuni daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Suku ini memiliki banyak bagian budaya yang menjadi kebanggaannya, salah satunya adalah pakaian adat Alas yaitu Mesikhat.

Karena banyaknya suku yang ada di kawasan Aceh, tidak heran jika setiap suku memiliki budaya dengan ciri khas sendiri. Begitu pula dengan suku Alas, di mana pakaian adatnya ini menjadi kebanggaan karena hanya suku Alas yang menggunakan pakaian adat ini.

Mengenal Mesikhat

Mesikhat adalah pakaian yang sudah banyak dikenal bahkan di luar suku Alas. Pakaian adat ini bisa dibilang terdapat dua jenis, yaitu Mesikhat yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari dan pakaian adat Mesikhat yang digunakan untuk acara penting.

Penerapan Mesikhat tidak hanya terbatas pada pakaian saja. Namun juga, pada peralatan rumah tangga seperti payung, baju gamis, dan sudah menyatu dengan masyarakat modern. Namun, Tradisi menggunakan Mesikhat untuk hari-hari penting masih dipertahankan.

Terutama, seperti pada acara-acara resmi khitanan, pernikahan, semua akan menggunakan mesikhat tanpa terkecuali. Mesikhat sangat khas dengan latar kain yang gelap dan warna-warna yang terang seperti kuning, hijau, putih, merah, dan sebagainya.

Warna-Warna Penting Pada Pakaian Mesikhat

Seperti yang disebutkan sebelumnya, pakaian adat Alas ini sering kali menggunakan warna-warna terang pada motif pakaiannya. Ternyata warna-warna tersebut tidak dipilih secara sembarangan atau asal cerah saja.

Ada makna-makna penting dalam pemilihan warna yang akan digunakan pada mesikhat. Berikut adalah warna-warna penting yang sering kali digunakan pada pakaian adat ini berikut dengan maknanya:

1. Kuning Untuk Kejayaan

Warna kuning merupakan warna yang umum digunakan pada pakaian adat Mesikhat terutama digunakan untuk laki-laki. Karena pada adat Suku Alas, warna ini memiliki makna kejayaan dan doa harta yang melimpah.

2. Hijau Untuk Kesuburan

Mewakili alam, warna hijau juga sering kali digunakan dalam motif pakaian adat Mesikhat. Hijau melambangkan kesuburan alam di bumi. Selain itu, sebagai harapan kesuburan pada keluarga baik dalam arti keturunan maupun kekayaan.

3. Putih Untuk Kesucian

Warna putih dalam adat Alas melambangkan kesucian, motif dan warna ini banyak digunakan untuk pakaian anak muda. Terutama, anak perempuan maupun laki-laki yang belum menikah.

4. Merah Untuk Keberanian

Warna merah sering kali ditemukan pada mesikhat yang digunakan oleh para laki-laki. Termasuk yang belum menikah, karena warna ini melambangkan kemudaan dan keberanian yang ada pada para pemuda. Namun, pemakaian warnanya sebenarnya lebih bebas untuk siapapun.

Pakain adat Alas yaitu Mesikhat ternyata tidak hanya sekedar pakaian adat. Pada pakaian ini terdapat makna yang dalam dan harapan Suku Alas yang menggunakannya. Melihat pakaian ini yang bisa bertahan pada zaman modern menunjukkan kebanggaan suku ini.

  • 6. Pakaian Adat Kluet

Kluet merupakan salah satu daerah yang ada di Kabupaten Selatan. Daerah ini ditinggali oleh suku yang bernama Suku Kluet. Suku ini memiliki pakaian adat Kluet yang bisa dibilang merupakan bukti dari adanya persatuan di daerah Aceh.

Karena Kluet atau Senuan Keluwet ini, secara historis tidak hanya dibentuk oleh kebudayaan yang ada di dalam daerah Aceh saja. Melainkan, perpaduan dari banyak suku di daerah Aceh mulai dari yang merupakan suku asli sampai dengan pendatang.

Tentang Senewen Keluwet

Seperti yang disebutkan sebelumnya, pakaian adat Kluet ini merupakan pakaian adat hasil dari persatuan budaya yang ada di daerah Kluet. Motif dari pakaian adat ini sebenarnya terinspirasi dari tanaman kluet.

Motif yang diadaptasi dari bentuk tanaman ini sudah dari dulu digunakan sebagai hiasan di kegiatan sehari-hari masyarakat. Terutama memang pada pakaian, baik untuk sehari-hari maupun untuk acara khusus dan pesta.

Namun, motif ini juga diadaptasi pada berbagai benda lainnya. Seperti motif rumah, perabotan, dan sebagainya. Pada zaman modern ini, motif kluet memiliki penggunaan yang lebih luas.

Tidak hanya terbatas pada pakaian saja. Namun juga, pada aksesoris, dompet, payung, cinderamata, dan berbagai produk lainnya.

Keistimewaan dari Pakaian Adat Kluet

Pakaian Adat Kluet sepertinya mendapatkan perhatian besar dari pemerintahan daerah dalam proses pelestariannya. Selain itu, pakaian adat ini juga memiliki nilai budaya yang kuat. Berikut adalah keistimewaan dari pakaian adat satu ini:

1. Gabungan Budaya dari Tiga Suku

Seperti yang disebutkan sebelumnya, pakaian adat ini merupakan bukti persatuan yang ada di Aceh. Karena secara historis, pembentukan motif ini melibatkan banyak suku yang ada di daerah Aceh.

Utamanya adalah daerah Aceh sendiri, Kluet, dan suku Aneuk Jamee. Karena Kluet dan Aneuk Jamee sendiri bisa dikatakan sebagai suku pendatang. Namun, dapat mencampurkan budayanya menjadi yang baru.

2. Memiliki Ragam yang Sangat Banyak

Ternyata ragam kluet tidak hanya satu namun sangat banyak. Bahkan, setiap kecamatan yang ada di Kluet Raya bisa dibilang memiliki motif sendiri yang khas. Masing-masing kecamatan memiliki motif yang terinspirasi dari alam.

Mulai dari bulung dalama, buah palo, buah nipah, cekalo, dan berbagai motif yang terinspirasi dari alam.

3. Sudah Disepakati Sebagai Warisan Budaya

Pemerintah daerah Kluet Raya sudah meresmikan motif kluet ini sebagai motif warisan budaya. Dalam pelestariannya, motif ini sudah mulai banyak digunakan. Tidak hanya untuk pakaian sehari-hari dan pesta saja.

Sekarang berbagai cinderamata dan produk yang dihasilkan oleh daerah Kluet Raya. Pasti ada yang menggunakan motif Kluet.

Pakaian adat Kluet membuktikan, walaupun ada banyak perbedaan. Namun, bisa dijadikan satu dan berpadu menjadi hasil budaya yang indah.

  • 7. Pakaian Adat Tamiang

Mengenal Aneka Macam Pakaian Adat Tamiang, Aceh yang Menawan

Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa pakaian adat Tamiang, Aceh merupakan salah satu warisan budaya Nusantara yang begitu memikat. Dimana, pakaian ini hadir dengan memadupadankan warna, motif sampai dengan perhiasan sehingga terlihat begitu menawan. Tidak hanya itu saja, warisan budaya satu ini juga menjadi salah satu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Aceh. Untuk Anda yang mungkin penasaran mengenai apa saja macam – macam pakaian adat Tamiang, maka bisa menyimak informasi selengkapnya berikut ini. 

Aneka macam pakaian adat Tamiang, Aceh

Sebagai informasi, Aceh umumnya memiliki berbagai macam pakaian adat yang masing – masing memiliki keunikan dan makna filosofis tersendiri. Bahkan, ada beberapa pakaian di antaranya yang turut menyesuaikan dengan zaman / unsur lainnya demi mewakili masing – masing suku di wilayah Aceh. Berbagai macam pakaian adat khas Tamiang, Aceh yang terlihat menawan dan bisa menjadi inspirasi, di antaranya yakni sebagai berikut. 

  1. Linta Baro – Daro Baro

Bisa dikatakan, bahwa pakaian adat ini sangat populer lantana biasa dipakai oleh orang – orang yang berasal dari suku Aceh, Tamiang dan Aneuk Jamee. Pada linta baro, biasanya dikenakan secara khusus untuk para kaum laki – laki, sementara daro baru dikenakan untuk kaum perempuan. Keduanya, diketahui merupakan pakaian khas yang dikenakan ketika acara pengantin maupun bisa juga tanpa berpasangan ketika perayaan hari adat tertentu.

  • Baju Anam – Ineun Mayak 

Jika digambarkan secara detail, pakaian adat satu ini terbilang sangat eksotis dan menawan dikenakan oleh para pemakainya. Bahkan bisa dikatakan, bahwa Ineun Mayak merupakan salah satu peninggalan suku Gayo, yang mana terkenal dengan biji kopinya yang terbaik. Adapun mengenai busananya sendiri, baju anam biasanya diperuntukkan untuk kaum laki – laki, sementara untuk ineun mayak dikenakan oleh perempuan. Bahan dasar dari busana adat satu ini, yaitu terbuat dari bahan tenun dan disesuaikan dengan kebiasaan nenek moyang zaman dulu.  

  • Pakaian Mesikhat dengan Motif Alas

Terkait mengenai pakaian Mesikhat sendiri, diketahui merupakan pakaian asli adat suku Alas yang biasanya digunakan sehari – hari oleh masyarakat, maupun ketika melaksanakan acara resmi. Baik itu ketika acara khitanan ataupun ketika acara pernikahan, serta bisa digunakan oleh semua keluarga besar tanpa terkecuali. Disebut dengan Mesikhat, dikarenakan merupakan sebutan motif – motif ukiran yang ada di Aceh Tenggah dan memiliki makna tersendiri sebagai kehidupan, khususnya bagi masyarakat Alas. 

  • Pakaian Motif Kluet

Terakhir, ada yang namanya pakaian motif Kluet yang dapat ditemukan pada pakaian adat Aceh, yaitu berupa senuwan keluwat (sejenis tanaman kluet-red). Diketahui, motif ini telah dimodifikasi dari tanaman ini dan sudah sejak zaman dulu digunakan sebagai hiasan pada pakaian masyarakat Kluet. Adapun dalam penggunaannya sendiri, pakaian ini sering digunakan untuk sehari – hari maupun untuk pakaian pesta upacara adat. Dan seiring dengan berjalannya waktu, pihak pemerintah setempat turut meresmikan Senuwan Keluwat sebagai motif khas Kluet. 

Demikianlah tadi informasi penting yang bisa Anda ketahui dan pahami mengenai aneka macam pakaian adat Tamiang yang begitu menawan, dan menjadi salah satu warisan budaya Nusantara. 

  • 8. Pakaian Adat Mesikhat

Pakaian Adat Mesikhat, Kebanggan Suku Alas Di Aceh Tenggara

Pakaian adat Mesikhat merupakan salah satu jenis Pakaian Khas Aceh yang menjadi kebanggaan bagi Suku Alas di Kabupaten Aceh Tenggara. Pakaian adat ini biasanya dikenakan pada acara besar seperti resepsi pernikahan dan prosesi khitanan. Pakaian tradisional Mesikhat bahkan sering kali digunakan untuk menyambut tamu penting pada acara tertentu. Tujuannya untuk terus melestarikan tradisi masyarakat Suku Alas. Mengingat, Kabupaten Aceh Tenggara dikenal sebagai wilayah yang sangat kental akan adat dan budayanya. 

Kata Mesikhat diambil dari kata Teshikat yang berarti mengaplikasikan motif hias tanpa pembuatan sketsa terlebih dahulu. Dengan kata lain, motif yang telah dirancang di dalam pikiran langsung diterapkan secara spontan pada kain atau pakaian. Namun, pemilihan motif tersebut tetap harus mengandung pesan sosial, moral serta spiritual. 

Ditemukan pada sekitar tahun 1910, Mesikhat pada awalnya diaplikasikan pada rumah adat. Kemudian, motif ini mulai diterapkan pada baju adat Aceh dan beberapa aksesoris atau souvenir lainnya. Sebut saja dompet, topi, selempang hingga payung. Meski demikian, motif Meshikat pada pakaian adat Alas dinilai menampilkan keindahan budaya yang tidak tertandingi. 

Karena menggambarkan tentang kehidupan masyarakat Suku Alas, motif pakaian Mesikhat mengedepankan unsur estetika tanpa menghilangkan nilai budaya yang ada di dalamnya. Mulai dari garis, bentuk, serta warna yang penuh makna.

Pakaian adat Mesikhat memiliki warna dasar hitam dengan sulaman atau ukiran motif Alas berwarna merah, hijau, putih dan kuning. Kelima warna tersebut mempunyai arti tersendiri untuk Masyarakat Alas. Warna hitam melambangkan kepemimpinan atau kekuatan, warna merah melambangkan keberanian, warna hijau melambangkan kesuburan alam, warna putih melambangkan kesucian dan warna kuning melambangkan kemegahan atau kejayaan. 

Untuk acara resepsi pernikahan, Mesikhat digunakan oleh mempelai pria maupun wanita dengan beberapa perbedaan yang cukup menonjol. Mempelai wanita mengenakan pakaian adat Mesikhat dengan bunga sumbu berwarna merah, hijau dan kuning yang mempercantik bagian kepala. Sedangkan untuk bagian bawahannya menggunakan kain songket berwarna hitam. 

Sementara Mesikhat pada mempelai pria dilengkapi dengan Bulang Bulu warna merah yang diikatkan di kepala. Pemakaian Bulang Bulu ini bersifat khusus sehingga tidak sembarangan orang bisa menggunakannya. Selain itu, pengantin pria semakin gagah dengan bogok atau kain selempang yang dikalungkan ke leher. Mesikhat tidak hanya bisa digunakan oleh pengantin saja, melainkan keluarga besar dari kedua mempelai. 

Adanya motif yang indah dan unik membuat pakaian adat Mesikhat sangat diminati oleh wisatawan. Baik itu wisatawan lokal maupun wisatawan dari luar kota yang datang berkunjung ke Aceh. Permintaan pakaian tradisional ini bahkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Terbukti dari semakin banyaknya pengrajin pakaian Mesikhat yang ada di lokasi pemasaran baju adat di Aceh Tenggara. 

Baca Juga:

Itulah macam-macam pakaian adat Aceh yang khas dan menarik untuk diketahui untuk mengenal budaya dan adat Aceh. Anda bisa melihat beragam kebudayaan Aceh di museum negeri Aceh. bagi anda yang mengambil paket tour Aceh, anda pasti akan dibawa berkunjung ke museum tersebut. Bagi anda yang hanya ingin berkunjung ke beberapa tempat di banda Aceh, anda bisa sewa mobil Aceh untuk memudahkan anda.